Indonesia sekali lagi menegaskan posisinya sebagai suara penting dalam arena diplomasi iklim global, secara tegas menyuarakan komitmennya untuk menciptakan mekanisme pasar karbon yang adil, inklusif, dan didasarkan pada prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang kuat. Dalam persiapan menuju Konferensi Para Pihak ke-30 (COP30) yang akan diselenggarakan di Belém, Brasil, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menitikberatkan urgensi pembentukan aturan main yang seimbang untuk Pasal 6.4 Perjanjian Paris, demi memastikan partisipasi aktif dan setara bagi negara-negara berkembang, khususnya yang kaya akan solusi berbasis alam.
Mengurai Pasal 6.4 Perjanjian Paris: Fondasi Keadilan Iklim
Pasal 6.4 Perjanjian Paris merupakan kerangka kerja krusial yang memungkinkan negara-negara untuk bekerja sama mencapai target kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC) melalui transfer mitigasi global. Mekanisme ini dirancang untuk memfasilitasi perdagangan kredit karbon, menciptakan insentif ekonomi bagi upaya pengurangan emisi dan penyerapan karbon. Namun, bagi Indonesia, implementasi pasal ini harus menjunjung tinggi prinsip keadilan dan inklusivitas agar tidak justru menjadi beban bagi negara-negara yang sejatinya memiliki potensi mitigasi terbesar.
Staf Ahli Menteri LHK Bidang Perubahan Iklim, Haruni Krisnawati, menyoroti kekhawatiran Indonesia bahwa aturan yang terlalu kaku dan tidak realistis dapat menghambat partisipasi negara berkembang. “Kami sangat mendukung integritas lingkungan, namun aturan yang terlalu kaku, seperti penyesuaian otomatis terhadap baseline emisi atau standar kebocoran karbon yang bersifat global dan seragam, berpotensi besar menegasikan inisiatif berbasis alam yang merupakan tulang punggung mitigasi perubahan iklim,” tegas Haruni.
Indonesia bertekad untuk memastikan bahwa integritas lingkungan yang tinggi berjalan seiring dengan keadilan dan keterjangkauan. Dengan demikian, setiap negara, tanpa terkecuali, dapat berkontribusi secara efektif dalam upaya kolektif mengatasi krisis iklim. Ini merupakan inti dari diplomasi iklim Indonesia: menciptakan sistem global yang berpihak pada keberlanjutan dan keadilan distributif.
Tantangan Aturan Kaku dan Dampaknya pada Solusi Berbasis Alam
Dalam sidang Agenda Item 15(b) yang membahas Laporan Badan Pengawas (Supervisory Body) untuk Mekanisme Pasal 6.4, Indonesia mengajukan sejumlah masukan penting yang juga mendapat dukungan dari negara-negara seperti Kosta Rika, Brasil, Norwegia, dan Inggris. Poin-poin intervensi ini secara spesifik menyoroti risiko dari pendekatan yang tidak mempertimbangkan realitas di lapangan:
1. **Revisi Standar Baseline dan Penyesuaian Otomatis (Downward Adjustment):** Indonesia mengkritisi usulan penurunan baseline emisi tahunan otomatis sebesar 1 persen. Menurut pandangan Indonesia, aturan semacam ini dapat membuat proyek-proyek mitigasi vital seperti REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), restorasi ekosistem, dan inisiatif karbon biru menjadi tidak layak secara ekonomi. Proyek-proyek ini memerlukan investasi jangka panjang dan perhitungan yang realistis, bukan pemotongan otomatis yang mengabaikan dinamika kompleks ekosistem.
2. **Pendekatan Realistis untuk Penilaian Kebocoran (Leakage):** Indonesia menyerukan pendekatan yang lebih berbasis sains dan realistis untuk menilai potensi kebocoran karbon. Kebocoran merujuk pada perpindahan emisi dari satu area proyek ke area lain. Khususnya untuk aktivitas berbasis alam, yang seringkali melibatkan lanskap luas dan interaksi kompleks, diperlukan metodologi global yang mapan dan tidak menghukum negara yang berupaya melakukan konservasi.
3. **Aturan Pasca-krediting dan Alat Penilaian Risiko:** Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa aturan pasca-krediting dan alat penilaian risiko (Risk Tools) tidak boleh menegasikan kegiatan berbasis lahan. Sektor kehutanan, pengelolaan gambut, dan konservasi mangrove, misalnya, adalah investasi jangka panjang yang membawa manfaat mitigasi dan adaptasi yang signifikan. Aturan yang terlalu memberatkan akan mengurangi insentif untuk melanjutkan dan mengembangkan proyek-proyek vital ini.
Seruan untuk Transparansi, Inklusi, dan Peningkatan Kapasitas
Selain aspek teknis, Indonesia juga mendorong pilar-pilar penting untuk tata kelola pasar karbon yang lebih baik:
* **Pelibatan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (IPLCs):** Indonesia menekankan pentingnya proses konsultasi yang diperpanjang dan melibatkan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal secara bermakna. Mereka adalah penjaga hutan dan ekosistem, serta memiliki pengetahuan tradisional yang tak ternilai dalam pengelolaan sumber daya alam. Suara mereka harus menjadi bagian integral dalam setiap keputusan terkait pasar karbon.
* **Transparansi Rapat Methodological Expert Panel (MEP):** Untuk memastikan akuntabilitas dan kepercayaan, Indonesia meminta agar rapat Methodological Expert Panel (MEP), yang bertanggung jawab atas pengembangan metodologi teknis, disampaikan secara terbuka. Ini akan meningkatkan transparansi dan memungkinkan semua pihak untuk memahami dasar-dasar teknis di balik keputusan penting.
* **Penguatan Pendanaan untuk Capacity Building dan Technology Transfer:** Negara-negara berkembang seringkali menghadapi keterbatasan dalam kapasitas teknis dan akses teknologi untuk berpartisipasi penuh dalam mekanisme pasar karbon global. Indonesia menyerukan penguatan pendanaan untuk pembangunan kapasitas (capacity building) dan transfer teknologi, agar semua negara dapat berkontribusi secara efektif dan adil.
Indonesia: Pelopor Solusi Berbasis Alam dan Karbon Biru
Sebagai negara kepulauan dengan megadiversitas yang luar biasa, Indonesia memiliki aset strategis berupa ekosistem-ekosistem penting seperti hutan mangrove dan lahan gambut. Ekosistem ini bukan hanya rumah bagi keanekaragaman hayati yang kaya, tetapi juga berfungsi sebagai penyerap karbon raksasa. Indonesia menekankan pentingnya pengakuan global terhadap solusi berbasis alam dan potensi karbon biru dari ekosistem pesisir dan laut. Keberlanjutan ekosistem ini merupakan bagian tak terpisahkan dari pencapaian target mitigasi global dan memberikan manfaat ekologis serta sosial ekonomi yang luas.
Intervensi Indonesia ini sangat selaras dengan agenda strategis nasional *Indonesia’s FOLU Net Sink 2030*, yang menargetkan sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya (Forestry and Other Land Use) menjadi penyerap karbon bersih pada tahun 2030. Aturan pasar karbon yang adil dan mendukung proyek berbasis alam adalah prasyarat penting untuk mencapai target ambisius ini dan menarik investasi yang diperlukan untuk konservasi dan restorasi.
Komitmen Berkelanjutan untuk Masa Depan Bumi
Sidang di Belém merupakan bagian dari rangkaian pembahasan laporan tahunan keempat Badan Pengawas Mekanisme Pasal 6.4. Meskipun pembahasan akan dilanjutkan untuk mencapai kesepakatan atas rekomendasi yang diajukan, perjuangan Indonesia untuk keadilan iklim tidak akan berhenti. “Perjuangan ini harus terus disuarakan. Indonesia akan terus memperjuangkan aturan yang seimbang, dapat diterapkan, dan menjamin keadilan bagi semua pihak, terutama bagi negara-negara berkembang yang berkontribusi besar bagi iklim dunia,” pungkas Haruni.
Komitmen Indonesia menunjukkan bahwa pasar karbon bukan hanya sekadar alat ekonomi, melainkan juga instrumen fundamental untuk mewujudkan keadilan iklim global. Dengan aturan yang tepat, mekanisme ini dapat memberdayakan negara-negara berkembang, melindungi ekosistem krusial, dan mempercepat transisi menuju masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan bagi seluruh umat manusia.
Apple Technos Memberikan informasi terkini khususnya teknologi dan produk apple