Jika membahas tentang cinta, kesetiaan, dan kemitraan jangka panjang, kita sebagai manusia mungkin secara naif berpikir bahwa kita adalah satu-satunya spesies yang istimewa. Namun, jauh di dalam belantara kerajaan hewan, terdapat kejutan dan tren yang, meski samar, terasa akrab. Realitasnya, monogami di antara berbagai spesies seringkali merupakan pengecualian daripada aturan, dan pola kesetiaan di dunia hewan ternyata sama kompleksnya dengan yang kita temukan pada manusia.
Definisi Monogami: Lebih dari Sekadar “Satu Pasangan”
Sebelum menyelami lebih jauh, penting untuk memahami berbagai bentuk monogami di alam. Para ilmuwan membagi monogami ke dalam beberapa kategori penting:
* Monogami Seksual: Ini adalah bentuk paling ketat, di mana pasangan hewan kawin secara eksklusif satu sama lain. Ikatan ini murni berdasarkan aktivitas reproduksi.
* Monogami Sosial: Dalam bentuk ini, pasangan hewan membentuk ikatan jangka panjang. Tujuannya beragam, mulai dari membesarkan keturunan bersama, berbagi wilayah, atau mencari makanan secara kolaboratif. Namun, meskipun membentuk ikatan sosial yang kuat, mereka mungkin sesekali “berselingkuh” dan kawin dengan individu lain di luar pasangannya. Ikatan ini lebih berorientasi pada keberhasilan pengasuhan dan kelangsungan hidup.
* Monogami Serial: Konsep ini mirip dengan apa yang sering kita lihat pada manusia, di mana hewan tetap bersama untuk membesarkan anak-anak dari satu musim kawin atau periode tertentu. Namun, mereka belum tentu akan kawin dengan pasangan yang sama seumur hidupnya. Setelah periode tertentu, mereka bisa mencari pasangan baru. Ya, bahkan di alam pun, hubungan bisa menjadi rumit dan berubah-ubah.
Manusia dalam Skala Monogami: Studi Mengejutkan dari Cambridge
Sebuah studi menarik yang dilakukan oleh para ilmuwan di Universitas Cambridge mencoba mengukur tingkat monogami pada mamalia. Mereka menciptakan sebuah skala berdasarkan seberapa besar kemungkinan suatu individu menghasilkan saudara kandung yang memiliki kedua orang tua yang sama. Hasilnya, manusia memang berada relatif di puncak grafik.
Namun, mengejutkan bagi banyak orang, manusia justru dikalahkan oleh beberapa spesies lain yang menunjukkan tingkat monogami yang lebih tinggi. Di antara mereka adalah tikus rusa California (Peromyscus californicus), anjing liar Afrika (Lycaon pictus), serigala Ethiopia (Canis simensis), dan berang-berang Eurasia (Castor fiber). Ini berarti, secara statistik, mamalia-mamalia ini lebih cenderung berpasangan dengan satu pasangan seumur hidup dan dapat dianggap lebih monogami daripada spesies kita, Homo sapiens.
Sebaliknya, manusia tetap dianggap lebih monogami dibandingkan dengan beberapa mamalia lain yang terkenal dengan pola perkawinan yang lebih bebas, seperti serigala abu-abu (Canis lupus), lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus), badak hitam (Diceros bicornis), dan singa (Panthera leo).
Dr. Mark Dyble, seorang antropolog evolusi di Universitas Cambridge, menyatakan dalam sebuah pernyataannya, “Ada liga utama monogami, di mana manusia berada dengan nyaman, sementara sebagian besar mamalia lain mengambil pendekatan yang jauh lebih bebas dalam hal perkawinan.” Ia menambahkan, “Temuan bahwa tingkat kelahiran saudara kandung pada manusia tumpang tindih dengan kisaran yang terlihat pada mamalia yang secara sosial monogami semakin memperkuat pandangan bahwa monogami adalah pola perkawinan dominan bagi spesies kita.”
Yang lebih mengejutkan, evolusi monogami pada manusia dianggap cukup tidak biasa. Mengingat banyak kerabat terdekat kita, seperti simpanse dan gorila, jarang mempraktikkan monogami, perilaku ini menandakan sebuah transisi evolusioner yang unik. “Berdasarkan pola perkawinan kerabat terdekat kita yang masih hidup, seperti simpanse dan gorila, monogami manusia mungkin berevolusi dari kehidupan berkelompok non-monogami, sebuah transisi yang sangat tidak biasa di antara mamalia,” jelas Dyble.
Burung: Juara Tak Terbantahkan dalam Ikatan Seumur Hidup
Jika ada “juara” sejati dalam hal perkawinan seumur hidup, predikat itu patut disematkan pada burung. Diperkirakan sekitar 90 persen spesies burung dianggap monogami, meskipun tingkat dan bentuk kesetiaannya bervariasi. Fenomena ini telah lama menarik perhatian para peneliti, karena kontras signifikan dengan dunia mamalia.
Penguin, misalnya, sering dianggap sebagai simbol universal monogami dan kesetiaan. Namun, kenyataannya jauh lebih kompleks. Meskipun banyak spesies penguin memang membentuk ikatan pasangan jangka panjang yang bisa bertahan beberapa musim, hubungan ini tidak selalu berlangsung seumur hidup. Bahkan dalam satu musim kawin di antara penguin yang berkembang biak secara koloni, ada banyak “drama” dan aktivitas tersembunyi yang melibatkan “perselingkuhan” atau pergantian pasangan.
Lalu, mengapa monogami begitu dominan di dunia burung? Ini sebagian besar berkaitan dengan strategi bertahan hidup dan reproduksi yang cerdas:
* Peningkatan Peluang Genetik: Bagi burung yang monogami, kawin seumur hidup secara signifikan meningkatkan peluang individu untuk mewariskan gennya ke generasi berikutnya.
* Investasi Induk yang Tinggi: Banyak burung berukuran besar, seperti albatros, angsa, atau elang, hanya menghasilkan satu kali penetasan anak burung setiap tahun. Telur mereka membutuhkan waktu inkubasi yang lebih lama, dan anak-anak mereka memerlukan perawatan intensif serta waktu yang lebih panjang untuk tumbuh dewasa dan mandiri. Memiliki dua induk yang berkomitmen penuh memastikan beban pengasuhan terbagi rata.
* Keuntungan Dua Induk: Dengan dua induk yang bekerja sama, sarang dapat dijaga setiap saat dari predator, sementara salah satu induk bebas untuk berburu, mencari makan, atau melakukan aktivitas penting lainnya. Ini memastikan kelangsungan hidup anak burung yang lebih tinggi.
* Efisiensi Energi: Mencari pasangan baru membutuhkan waktu dan energi yang cukup besar, terutama bagi burung migrasi besar seperti angsa dan burung camar yang harus menempuh perjalanan ribuan kilometer. Dengan tetap bersama pasangan yang sudah dikenal, mereka dapat menghemat tenaga untuk perjalanan panjang yang akan datang, sekaligus mempertahankan kemitraan yang sudah terbukti efektif. Ini juga memungkinkan mereka untuk berkembang biak lebih awal di musim tersebut, memberikan waktu maksimal untuk membesarkan anak-anak.
Spesies lain seperti albatros, yang hidup sangat lama dan memiliki periode pematangan yang panjang, juga menunjukkan monogami yang kuat. Ikatan mereka bisa bertahan puluhan tahun, dengan pasangan kembali ke lokasi sarang yang sama setiap tahun setelah migrasi panjang, menunjukkan tingkat kesetiaan geografis dan pasangan yang luar biasa.
Alasan di Balik Kesetiaan: Pragmatisme Evolusi, Bukan Romansa
Pada intinya, ikatan monogami di dunia hewan – baik itu mamalia maupun burung – seringkali didorong oleh pragmatisme evolusioner dan kebutuhan untuk bertahan hidup, bukan sentimen romantis seperti pada manusia. Kesetiaan ini adalah sebuah strategi yang terbukti efektif untuk memaksimalkan peluang reproduksi, memastikan kelangsungan hidup keturunan, dan menghemat sumber daya yang berharga.
Faktor-faktor seperti ketersediaan sumber daya, risiko predasi, kebutuhan akan pengasuhan dua induk, dan biaya yang tinggi dalam mencari pasangan baru, semuanya berkontribusi pada evolusi perilaku monogami di berbagai spesies. Ini adalah kalkulasi biologis yang kompleks untuk mencapai tujuan utama: mewariskan gen ke generasi selanjutnya.
Pelajaran dari Ikatan Alam Liar
Dari tikus rusa California hingga albatros yang setia menempuh lautan, dunia hewan memberikan perspektif menarik tentang monogami. Ini bukan hanya kisah tentang cinta dan kesetiaan semata, tetapi juga tentang strategi bertahan hidup yang canggih dan adaptasi evolusioner. Meskipun motivasi di baliknya mungkin berbeda dengan manusia, “kesetiaan sampai mati” di alam liar adalah sebuah bukti nyata akan kekuatan seleksi alam dalam membentuk perilaku yang paling menguntungkan bagi kelangsungan hidup sebuah spesies. Ini adalah pengingat bahwa alam penuh dengan pelajaran berharga tentang berbagai bentuk ikatan dan hubungan.
Apple Technos Berita Apple Terbaru, Rumor & Update Resmi