...

Oracle Kehilangan Rp5.700 Triliun Akibat Cinta Buta pada OpenAI

Langit Cerah yang Berubah Badai bagi Oracle

Bulan September lalu, Oracle Corporation menikmati puncak kejayaan. Sahamnya melonjak ke rekor tertinggi, bahkan sempat menempatkan pendirinya, Larry Ellison, sebagai salah satu individu terkaya di dunia. Namun, euforia itu kini telah berubah menjadi kekhawatiran yang mendalam. Kapitalisasi pasar raksasa teknologi ini mendadak menyusut drastis, lebih dari 40 persen dari puncaknya, menguapkan lebih dari USD360 miliar atau setara dengan Rp5.724 triliun. Penurunan paling signifikan terlihat dalam satu hari perdagangan yang kelam, di mana nilai perusahaan menguap USD67 miliar (sekitar Rp1.065 triliun).

Kejatuhan spektakuler ini bukan sekadar cerminan laporan keuangan kuartal kedua yang kurang memuaskan, melainkan lebih dalam lagi: kecemasan para investor yang berpusat pada satu nama – OpenAI. Bagaimana perusahaan pengembang ChatGPT ini bisa menyeret Oracle ke dalam pusaran kerugian triliunan rupiah? Jawabannya terletak pada sebuah proyek ambisius yang dikenal sebagai ‘Stargate’ dan ketergantungan masif Oracle terhadapnya.

Jebakan ‘Stargate’: Mega Proyek dengan Risiko Mega

Akar permasalahan Oracle bermula dari optimisme yang berlebihan yang dipamerkan kepada investor pada September lalu. Saat itu, Oracle mengumumkan bahwa “kewajiban kinerja yang tersisa” (Remaining Performance Obligations/RPO) mereka, yang mewakili nilai pendapatan masa depan dari kontrak-kontraksudah ditandatangani, melonjak fantastis hampir 360 persen, mencapai USD455 miliar (sekitar Rp7.234 triliun). Angka ini sontak memicu kegembiraan pasar dan mendorong saham Oracle ke level tertinggi.

Namun, detail di balik angka yang menggiurkan itu kemudian terkuak, dan inilah yang membuat pasar terkejut sekaligus cemas. Ternyata, USD300 miliar (sekitar Rp4.770 triliun) dari komitmen RPO tersebut berasal dari satu klien tunggal: OpenAI. Ketergantungan masif pada satu entitas, terutama dalam skala sebesar ini, segera menjadi sorotan utama. Proyek ambisius yang melibatkan OpenAI ini dikenal dengan nama “Stargate”, sebuah inisiatif untuk membangun infrastruktur superkomputer AI raksasa yang akan menelan biaya triliunan dolar. Sejak ketergantungan Oracle pada OpenAI untuk proyek Stargate ini terungkap, saham Oracle terus terseok-seok, mencerminkan ketidaknyamanan investor terhadap risiko konsentrasi yang ekstrem.

Awan Gelap di Langit OpenAI: Biaya Fantastis dan Persaingan Memanas

Kecemasan investor terhadap OpenAI bukannya tanpa alasan. Perusahaan yang berada di garis depan revolusi kecerdasan buatan generatif ini diprediksi akan menanggung biaya operasional yang membengkak hingga USD1,4 triliun (setara Rp22.260 triliun) dalam beberapa tahun mendatang. Angka fantastis ini muncul dari serangkaian kesepakatan agresif yang telah ditandatangani OpenAI dengan berbagai penyedia chip dan infrastruktur, termasuk Nvidia, CoreWeave, AMD, Broadcom, dan tentu saja, Oracle sendiri. Membangun dan mengoperasikan model AI berskala besar seperti GPT-4 membutuhkan daya komputasi yang sangat masif dan mahal, menjadikan pengeluaran ini sebagai keniscayaan bagi OpenAI.

Ditambah lagi, posisi OpenAI kian terjepit oleh persaingan yang semakin sengit. Model kecerdasan buatan Gemini dari Google, yang kini menjadi rival langsung ChatGPT, terus meningkatkan kemampuannya dan mendapatkan pangsa pasar. Kondisi ini memicu kekhawatiran tentang kemampuan OpenAI untuk memonetisasi produknya secara efektif dan mencapai target pendapatan yang ambisius. Sam Altman, CEO OpenAI, dilaporkan sempat menyatakan kondisi “kode merah” pekan lalu, sebuah sinyal bahaya yang menunjukkan urgensi untuk mengatasi tantangan monetisasi dan persaingan yang mengancam kelangsungan finansial perusahaan unicorn tersebut.

Stefan Slowinski, seorang analis dari BNB Paribas, mengomentari situasi ini dengan gamblang. “Jelas ada pembalikan persepsi pasar terhadap OpenAI dalam beberapa bulan terakhir,” ujarnya. “Ekosistem OpenAI jelas menderita akibat hal ini.” Senada dengan Slowinski, Gil Luria, analis dari DA Davidson, menyoroti posisi sulit yang kini dihadapi Oracle. Ia mengungkapkan bahwa Oracle berada dalam “situasi sulit di mana mereka harus membangun kapasitas [pusat data] untuk pelanggan ini dan meminjam banyak uang untuk melakukannya, padahal ada ketidakpastian yang sangat tinggi apakah pelanggan ini mampu membayar kapasitas tersebut.” Ini adalah pertaruhan besar yang berpotensi menghasilkan kerugian kolosal jika OpenAI gagal memenuhi kewajibannya.

Beban Keuangan Oracle yang Membengkak: Investasi Raksasa untuk AI

Laporan keuangan kuartal kedua Oracle semakin memperkeruh suasana dan memperlihatkan dampak langsung dari ambisi mereka di sektor AI. Belanja modal (Capital Expenditure/Capex) perusahaan tercatat mencapai USD12 miliar (sekitar Rp190 triliun), angka yang jauh melampaui ekspektasi pasar. Peningkatan signifikan ini sebagian besar didorong oleh kebutuhan mendesak untuk membangun dan memperluas pusat data serta infrastruktur komputasi awan yang diperlukan untuk mendukung proyek AI berskala raksasa, termasuk Stargate.

Pada saat yang sama, arus kas bebas (Free Cash Flow/FCF) Oracle justru mencatat kerugian sebesar USD10 miliar (sekitar Rp159 triliun), angka yang jauh lebih buruk dibandingkan perkiraan awal yang hanya USD6 miliar. Arus kas bebas yang negatif menunjukkan bahwa perusahaan mengeluarkan lebih banyak uang tunai daripada yang dihasilkan dari operasinya, sebuah sinyal peringatan bagi investor. Merespons kebutuhan infrastruktur AI yang “rakus” akan sumber daya dan modal, Oracle bahkan telah menaikkan perkiraan belanja modal setahun penuhnya dari USD35 miliar (sekitar Rp556 triliun) menjadi USD50 miliar (sekitar Rp795 triliun). Lonjakan proyeksi capex ini mengindikasikan investasi besar-besaran yang diperlukan untuk tetap kompetitif dalam perlombaan infrastruktur AI, namun juga menambah tekanan finansial yang signifikan pada neraca perusahaan.

Upaya Merdakan Pasar: Strategi Oracle dan Tantangan di Depan

Menghadapi gelombang kepanikan investor, para eksekutif Oracle berupaya keras meredam kekhawatiran terkait beban utang dan ketergantungan masif pada OpenAI. Clay Magouyrk, Co-CEO baru Oracle, menegaskan bahwa perusahaan memiliki lebih dari 700 pelanggan AI. Ia mengklaim bahwa Oracle memiliki fleksibilitas untuk dengan mudah mengalihkan infrastruktur AI-nya untuk melayani pelanggan lain hanya dalam hitungan “jam” jika permintaan dari satu pelanggan utama – dalam hal ini OpenAI – gagal terwujud atau tidak dapat dipenuhi.

Namun, klaim ini mungkin terlalu optimistis jika melihat skala investasi dan kapasitas yang dikhususkan untuk proyek Stargate. Membangun infrastruktur bernilai triliunan rupiah untuk satu klien spesifik, dengan spesifikasi yang mungkin unik, dan kemudian mengalihkannya ke ratusan klien lain dalam waktu singkat bukanlah tugas yang mudah. Kompleksitas teknis dan komitmen kontrak jangka panjang dapat menjadi penghalang. Meskipun Oracle berupaya menunjukkan diversifikasi pelanggan, risiko konsentrasi pada OpenAI tetap menjadi bayangan yang membayangi prospek pertumbuhan dan stabilitas finansial perusahaan.

Dampak Lebih Luas dan Pelajaran Berharga

Kisah Oracle dan OpenAI ini menyoroti risiko inheren dalam ketergantungan bisnis yang berlebihan pada satu klien besar, terutama di sektor teknologi yang sangat dinamis dan bergejolak seperti kecerdasan buatan. Model bisnis yang mengandalkan satu “unicorn” dengan kebutuhan modal yang fantastis dapat menjadi bumerang ketika kondisi pasar atau keuangan klien tersebut goyah. Ini adalah pelajaran berharga tentang pentingnya diversifikasi, mitigasi risiko, dan kehati-hatian dalam mengejar peluang pertumbuhan yang sangat besar namun memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi.

Menanti Arah Baru Sang Raksasa Teknologi

Oracle saat ini berada di persimpangan jalan. Sementara mereka telah melakukan investasi besar-besaran untuk memposisikan diri sebagai pemain kunci dalam infrastruktur AI, masa depan investasi tersebut sangat terkait dengan stabilitas finansial dan keberhasilan monetisasi OpenAI. Pasar akan terus mengamati perkembangan Proyek Stargate, laporan keuangan Oracle selanjutnya, serta kemampuan OpenAI untuk mengatasi tantangan biayanya dan persaingan ketat. Bagi Larry Ellison dan tim manajemen Oracle, tantangan terbesar kini adalah meyakinkan kembali investor bahwa taruhan besar mereka pada masa depan AI akan membuahkan hasil, dan bukan hanya sekadar “cinta buta” yang berujung pada kerugian triliunan rupiah.

About applegeekz

Check Also

Disney Jalin Kerja Sama dengan OpenAl, Karakter Ikonik Bisa Digunakan di Sora

Masa Depan Hiburan: Disney Bermitra Strategis dengan OpenAI Industri hiburan global kembali dihebohkan dengan sebuah …