JAKARTA – Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menegaskan pentingnya perlindungan anak di dunia digital menjadi fokus utama dalam gerakan nasional. Dalam era di mana semakin banyak anak Indonesia terhubung ke internet, tingkat literasi digital yang rendah menjadi hal yang mengkhawatirkan. Menurut data terbaru, satu anak Indonesia dihubungkan dengan internet setiap 0,5 detik. Ini menciptakan situasi mendesak, mengingat bahwa literasi digital di dalam keluarga masih jauh dari memadai. Dengan populasi mencapai sekitar 88,8 juta anak dan remaja, Indonesia tercatat memiliki salah satu generasi digital terbesar di dunia, tetapi tantangan besar muncul ketika akses cepat ke teknologi tidak diimbangi dengan perlindungan yang memadai. “Anak-anak kita memasuki ruang digital dengan sangat cepat, namun banyak orang tua yang belum mampu mengenali risikonya. Ini bukan sekadar problem teknologi, tetapi juga menjadi isu yang menyangkut keselamatan anak-anak,” ujar Mediodecci Lustarini, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital di Kominfo, dalam pertunjukan ‘Indonesiagoid Menyapa’ yang diadakan pada Sabtu (15/11/2025). Temuan Penting tentang kehadiran Anak di Dunia Digital Dari beberapa penemuan yang dipaparkan, terdapat beberapa fakta mencolok. Pertama, 75% anak usia 7-17 tahun diketahui menghabiskan waktu 5-7 jam per hari menjelajahi internet. Kedua, meskipun 70% orang tua memiliki peraturan tentang penggunaan gadget, hanya 20% anak yang mematuhi aturan tersebut. Ketiga, hanya 37,5% anak yang pernah menerima pendidikan tentang keamanan digital. Kesenjangan antara pemahaman orang tua dan perilaku anak ini menciptakan situasi yang rentan bagi anak di ranah digital. Anak-anak dapat mengalami risiko serius seperti perundungan online, eksploitasi seksual, konten ekstrem, dan manipulasi algoritma. Mediodecci menegaskan, “Kita harus berhadapan dengan jurang literasi yang mengkhawatirkan. Setiap usaha untuk mengawasi ruang digital takkan efektif tanpa keterlibatan dari keluarga, sekolah, komunitas, dan platform digital itu sendiri.” Mendorong Implementasi Peraturan Perlindungan Anak Digital Dengan peluncuran Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Anak di Ruang Digital (PP TUNAS), Mediodecci menjelaskan bahwa ini merupakan langkah signifikan untuk menguatkan hak dan keselamatan anak di ranah digital. Namun, keberhasilan implementasi PP TUNAS sangat bergantung pada kerjasama semua pihak yang terlibat. Ia menekankan adanya empat elemen krusial dalam pelaksanaan regulasi ini. Pertama, penguatan sistem pelaporan dan penanganan konten yang berbahaya. Kedua, pengembangan platform yang aman untuk anak-anak. Ketiga, peningkatan literasi digital bagi keluarga. Keempat, dorongan keterlibatan komunitas dari tingkat paling dasar. “Regulasi tidak boleh berakhir hanya sebagai dokumen. Harus ada tindakan nyata dalam praktik sehari-hari,” tegasnya. Peran KIM dalam Meningkatkan Kesadaran Digital Pada kesempatan tersebut, Taofiq Rauf, Ketua Tim Pengelolaan Portal Informasi Publik Komdigi, menyoroti peranan Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) sebagai bentuk penggerak narasi positif serta pendamping dalam literasi digital di tingkat lokal. Ia menekankan bahwa tantangan yang paling besar dalam ruang digital saat ini bukan hanya mengenai berita palsu atau kejahatan siber, tetapi juga ketidakberdayaan dari masyarakat untuk berbicara. Portal informasi Indonesia.go.id juga berupaya mendorong KIM untuk menjembatani isu digital dengan bahasa yang mudah dipahami oleh keluarga, guru, dan masyarakat. “Ruang digital dapat menjadi lebih sehat ketika warga berani membagikan informasi yang bermanfaat dan tidak hanya menjadi konsumen pasif,” ungkap Taofiq. Keterlibatan Semua Pihak dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Baik Annisa Pratiwi Iskandar dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) menambahkan bahwa penyusunan PP TUNAS merupakan hasil kerjasama lintas sektor, yang melibatkan berbagai pihak mulai dari akademisi hingga anak-anak itu sendiri. Ia menekankan bahwa peran KIM akan sangat penting dalam memastikan bahwa regulasi ini diterapkan dan dipahami di level keluarga dan komunitas. Sementara itu, Erry Farid, seorang praktisi teknologi dan arsitektur AI, menjelaskan bahwa lebih dari 2 juta model dan aplikasi AI sudah beredar di seluruh dunia hingga November 2025. Teknologi ini, seperti face swap dan deepfake, dapat menjadi alat yang berpotensi merugikan anak jika tidak dikelola dengan baik. “AI bukan ancaman, tetapi alat yang harus dikuasai. Literasi digital yang baik akan membuat masyarakat menjadi pengarah teknologi, bukan menjadi korban,” tuturnya. Ia menegaskan bahwa perlindungan anak di ruang digital seharusnya menjadi komitmen dari semua elemen untuk menjaga masa depan generasi muda. Pada akhirnya, kolaborasi semua pihak untuk meningkatkan edukasi publik dan membuat ruang digital Indonesia menjadi lebih aman, sopan, inklusif, serta berfokus pada kepentingan terbaik bagi anak sangatlah vital.
Apple Technos Memberikan informasi terkini khususnya teknologi dan produk apple