...

Gen Z Juara Chatting dengan AI? Waspada Fenomena ‘Dikit-Dikit AI’

JAKARTA – Era kecerdasan buatan (AI) telah merasuki hampir setiap aspek kehidupan modern, dan tidak ada kelompok yang lebih akrab dengannya selain Generasi Z. Dikenal sebagai ‘digital native’ sejati, Gen Z menempatkan diri sebagai garda terdepan dalam adopsi teknologi AI, mengintegrasikannya ke dalam rutinitas sehari-hari mereka mulai dari urusan akademik hingga pencarian ide kreatif dan bahkan sekadar teman ngobrol digital. Fenomena ini, yang sering disebut sebagai ‘dikit-dikit AI’, membawa serta potensi revolusioner sekaligus kekhawatiran serius mengenai dampak jangka panjang terhadap perkembangan kognitif dan perilaku.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2025 menunjukkan angka yang mencengangkan: 43,7 persen pengguna AI teratas berasal dari Generasi Z. Angka ini jauh melampaui kelompok usia lainnya, dengan Milenial yang menduduki posisi kedua dengan 22,3 persen. Data ini menegaskan bahwa AI bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan telah menjadi bagian integral dari identitas dan cara hidup generasi muda di Indonesia. Namun, di balik kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan, muncul pertanyaan krusial: apakah kita sedang menyaksikan evolusi penggunaan teknologi atau justru terjebak dalam pusaran ketergantungan yang mengancam kemampuan berpikir kritis?

Generasi Digital Native dan Gelombang Disrupsi AI

Profesor Ridi Ferdiana, seorang Guru Besar UGM sekaligus pakar rekayasa perangkat lunak, memandang peningkatan masif penggunaan AI di kalangan anak muda sebagai keniscayaan. Bagi Gen Z, yang terlahir dan tumbuh di tengah gelombang digital, interaksi dengan teknologi canggih seperti AI adalah hal yang alami. Namun, Prof. Ridi menyoroti bahwa disrupsi terbesar bukanlah kemunculan AI secara umum, melainkan hadirnya *generative AI*. Teknologi ini, dengan kemampuannya menciptakan konten baru—teks, gambar, kode, atau bahkan musik—secara fundamental mengubah cara Gen Z berinteraksi dengan informasi dan memproses pemikiran.

“Generasi Z itu lahir sebagai digital native, sudah dimanjakan teknologi sejak kecil. Generative AI sekarang menjadi bentuk disrupsi terbesar yang mengubah cara berpikir dan hidup mereka,” jelas Prof. Ridi. Pergeseran paradigma ini begitu cepat sehingga adopsinya di kalangan mahasiswa sudah mencapai tingkat yang luar biasa. Sebagai contoh, di lingkungan UGM saja, diperkirakan 45 ribu dari total 60 ribu mahasiswa telah mengadopsi AI dalam aktivitas keseharian maupun akademik mereka. Prof. Ridi bahkan memperkirakan bahwa pada tahun 2030, tingkat adopsi AI di kalangan anak muda bisa mencapai 100 persen, mengukuhkan dominasi AI dalam membentuk generasi masa depan.

Manfaat AI: Asisten Belajar Revolusioner dan Pemicu Kreativitas

Dari sudut pandang positif, AI, khususnya *generative AI*, menawarkan potensi luar biasa dalam meningkatkan kualitas belajar dan mendorong kreativitas Gen Z. Bukan sekadar alat untuk mendapatkan jawaban instan, AI modern kini dirancang untuk menjadi ‘teman belajar’ yang interaktif dan personal. Fitur ‘guided learning’ yang ditemukan pada platform seperti Gemini AI menjadi contoh nyata dari evolusi ini. Teknologi ini tidak hanya menyediakan informasi, tetapi juga membimbing pengguna melalui proses penelitian mendalam, mengajukan pertanyaan pemicu, dan membantu menganalisis jawaban secara lebih komprehensif.

AI dapat berfungsi sebagai tutor pribadi yang selalu tersedia, membantu memahami konsep-konsep yang rumit, memberikan umpan balik cepat pada draf tulisan, atau bahkan membantu dalam simulasi ide-ide kreatif. Bagi mahasiswa, ini berarti akses ke bantuan riset yang lebih cepat, kemampuan untuk mengolah data besar dengan efisien, dan alat untuk memicu ide-ide inovatif yang mungkin sulit ditemukan secara konvensional. Kemampuan AI untuk mengotomatiskan tugas-tugas repetitif juga membebaskan waktu Gen Z untuk fokus pada pemikiran strategis dan pengembangan keterampilan yang lebih tinggi, mendorong mereka menjadi individu yang lebih produktif dan inovatif.

Sisi Gelap ‘Dikit-Dikit AI’: Ancaman Ketergantungan dan Otak Manja

Namun, di balik segala kemudahan dan inovasi yang ditawarkan, penggunaan AI yang berlebihan dan tidak kritis memicu kekhawatiran serius. Fenomena ‘dikit-dikit AI’ berpotensi menciptakan ‘otak manja’—sebuah kondisi di mana individu menjadi terlalu bergantung pada AI untuk memecahkan masalah, melakukan riset, atau bahkan berpikir secara mandiri. Ketergantungan ini dapat mengikis kemampuan esensial seperti berpikir kritis, memecahkan masalah secara kreatif, dan mensintesis informasi dari berbagai sumber.

Para ahli mengkhawatirkan bahwa jika Gen Z terbiasa mendapatkan jawaban instan tanpa melalui proses penalaran yang mendalam, mereka mungkin kehilangan kesempatan untuk melatih otot kognitif yang penting. Ini bukan hanya tentang pencarian informasi, tetapi juga tentang pengembangan argumen, evaluasi sumber, dan kemampuan untuk belajar dari kesalahan. Selain itu, ada risiko plagiarisme yang meningkat jika AI digunakan untuk menghasilkan konten tanpa pemahaman atau atribusi yang tepat. Bahaya lain termasuk potensi penyebaran informasi yang bias atau tidak akurat yang dihasilkan oleh AI, serta dampak psikologis dari interaksi berlebihan dengan entitas non-manusia yang dapat memengaruhi perkembangan sosial dan emosional.

Menyeimbangkan Penggunaan: Edukasi dan Literasi Digital Kritis

Menghadapi dominasi AI di kalangan Gen Z, langkah proaktif sangat dibutuhkan untuk menyeimbangkan manfaat dan risikonya. Pendidikan dan literasi digital kritis menjadi kunci utama. Gen Z perlu dibekali pemahaman yang mendalam tentang bagaimana AI bekerja, apa batasannya, dan bagaimana menggunakannya secara etis dan bertanggung jawab. Ini termasuk mengajari mereka untuk tidak menerima jawaban AI mentah-mentah, melainkan untuk memverifikasi, menganalisis, dan mempertanyakan informasi yang diberikan.

Institusi pendidikan memiliki peran vital dalam mengintegrasikan AI ke dalam kurikulum dengan cara yang konstruktif, mendorong siswa untuk menggunakan AI sebagai alat bantu pemikiran, bukan pengganti pemikiran. Diskusi terbuka tentang etika AI, privasi data, dan dampak sosialnya juga harus menjadi bagian dari pendidikan. Selain itu, orang tua dan masyarakat harus mendorong Gen Z untuk mengembangkan keterampilan yang tidak dapat direplikasi oleh AI, seperti empati, kecerdasan emosional, kreativitas orisinal, dan kemampuan berinteraksi manusiawi. Dengan pendekatan yang holistik, Gen Z dapat tumbuh menjadi individu yang tidak hanya mahir dalam memanfaatkan AI, tetapi juga kritis, etis, dan mampu beradaptasi dengan lanskap teknologi yang terus berubah, menjadikannya agen perubahan yang cerdas dan bertanggung jawab di era digital ini.

About applegeekz

Check Also

Revolusi Digital Australia: Remaja di Bawah 16 Tahun Resmi Dilarang Akses Media Sosial Mulai 2025

Tahun 2025 akan menjadi titik balik signifikan dalam lanskap digital global, terutama bagi kaum muda. …