ai belum bisa gantikan google akurasi jadi tantangan utama index
ai belum bisa gantikan google akurasi jadi tantangan utama index

AI Belum Bisa Gantikan Google, Akurasi Jadi Tantangan Utama

Antara Harapan dan Realita Kecerdasan Buatan
Perkembangan pesat dalam bidang kecerdasan buatan (AI) telah memicu gelombang optimisme dan ekspektasi yang luar biasa. Dari membantu menyusun ide-ide kreatif, meningkatkan efisiensi operasional bisnis, hingga melakukan analisis data yang kompleks, AI digadang-gadang sebagai teknologi revolusioner yang akan mengubah lanskap kerja dan informasi. Namun, di tengah euforia popularitasnya, para praktisi industri mulai menyoroti sejumlah keterbatasan fundamental yang melekat pada teknologi ini, terutama terkait dengan akurasi dan transparansi hasil.
Pandangan kritis ini disampaikan oleh Bima Marzuki, Founder & CEO Media Buffet PR, dalam acara Seedbacklink Summit 2026 yang bertema ‘Marketing & Communication Outlook 2026’ di Jakarta. Menurut Bima, meski AI menawarkan potensi besar, penggunaannya dalam praktiknya seringkali menghasilkan informasi yang keliru, terutama saat diverifikasi secara manual oleh manusia. Realitas ini menempatkan AI pada persimpangan jalan, di mana harapan tinggi berhadapan dengan tantangan nyata di lapangan.

Problem Akurasi: Ketika AI Menyesatkan
Salah satu kritik utama yang dilayangkan terhadap AI adalah masalah akurasi data. Bima Marzuki memberikan contoh konkret dari pengalamannya ketika meminta AI untuk melakukan analisis komentar dan konten di media sosial sebagai dasar penyusunan strategi komunikasi. AI diminta untuk menganalisis beberapa akun media sosial berdasarkan parameter tertentu, dan hasil yang diberikan tampak sangat komprehensif serta meyakinkan dari segi struktur.
Namun, setelah dilakukan verifikasi manual oleh timnya, ditemukan bahwa hasil analisis AI tersebut sama sekali tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Setelah koreksi dan revisi berulang, AI baru ‘mengakui’ keterbatasannya. Kasus ini menyoroti fenomena yang dikenal sebagai ‘halusinasi’ AI, di mana sistem menghasilkan informasi yang tampak masuk akal tetapi faktualnya salah. Fenomena ini tidak hanya terbatas pada aplikasi bisnis yang kompleks, tetapi juga sering ditemui pada platform AI percakapan yang paling umum seperti ChatGPT. Berbagai laporan pengguna menunjukkan bahwa ChatGPT, meskipun sangat canggih, kerap memberikan jawaban yang tidak akurat, informasi yang sudah usang, atau bahkan fakta yang sepenuhnya fiktif jika sumber datanya tidak memadai atau interpretasinya keliru. Keterbatasan ini menjadi penghalang serius bagi adopsi AI secara massal sebagai sumber informasi yang tepercaya.

Keterbatasan dalam Eksekusi dan Keandalan Waktu
Selain persoalan akurasi, Bima Marzuki juga menyoroti keterbatasan AI dari sisi eksekusi dan keandalan waktu kerja. Ia menceritakan pengalamannya ketika memberikan tugas kepada AI untuk melakukan crawling atau pengumpulan data pemberitaan terkait kliennya dalam kurun waktu enam bulan terakhir. Tugas semacam ini, menurutnya, sejatinya dapat diselesaikan oleh satu staf humas secara manual dalam waktu satu hari kerja.
Namun, ketika tugas tersebut didelegasikan kepada AI, justru muncul kendala yang tak terduga. Hingga tenggat waktu yang ditentukan, hasil pekerjaan tersebut tidak kunjung diserahkan. Ini menunjukkan bahwa meskipun AI memiliki kapasitas komputasi yang besar, ia masih memiliki keterbatasan dalam memahami instruksi secara kontekstual, menangani pengecualian, atau bahkan sekadar menjaga keandalan proses eksekusi dalam jangka waktu tertentu. Efisiensi yang dijanjikan AI belum tentu terealisasi di setiap skenario, terutama untuk tugas-tugas yang memerlukan interpretasi nuansa, pengambilan keputusan adaptif, atau penanganan kendala tak terduga yang seringkali muncul dalam pekerjaan manusia. Kesenjangan antara potensi dan kinerja nyata ini menjadi alasan kuat mengapa peran manusia masih tak tergantikan dalam banyak aspek pekerjaan.

Mengapa Google Tetap Unggul?
Fenomena ‘AI FOMO’ (Fear of Missing Out) telah menciptakan narasi bahwa AI akan segera menggantikan mesin pencari konvensional seperti Google. Banyak pihak terburu-buru mengasumsikan bahwa model bahasa besar berbasis percakapan akan menggeser dominasi Google dalam waktu singkat. Namun, realitas data menunjukkan hal yang berbeda. Menurut Bima Marzuki, volume pencarian di Google masih jauh lebih besar dibandingkan dengan AI berbasis percakapan.
Keunggulan Google terletak pada fondasi datanya yang masif dan terus diperbarui secara real-time, algoritma pencariannya yang sangat matang, serta kemampuannya dalam menyajikan hasil yang relevan dari miliaran halaman web dengan kecepatan kilat. Google telah membangun infrastruktur dan kepercayaan selama puluhan tahun sebagai gerbang utama informasi di internet. AI, di sisi lain, seringkali ‘terjebak’ dalam data latihnya yang mungkin sudah tidak relevan atau tidak lengkap, serta memiliki kecenderungan untuk ‘menghalusinasi’ informasi ketika tidak menemukan jawaban yang pasti. Mesin pencari seperti Google dirancang untuk mengindeks dan menyajikan informasi yang sudah ada di web, sementara AI generatif cenderung ‘menciptakan’ respons berdasarkan pola yang dipelajari, yang belum tentu akurat secara faktual.

Masa Depan Sinergi, Bukan Substitusi
Meskipun AI belum bisa menggantikan Google dalam waktu dekat, bukan berarti teknologi ini tidak memiliki peran. Sebaliknya, masa depan yang paling realistis adalah sinergi antara keduanya. AI dapat berfungsi sebagai asisten cerdas yang memperkaya pengalaman pencarian, meringkas informasi, atau membantu pengguna memformulasikan pertanyaan yang lebih baik. Google sendiri telah mengintegrasikan elemen AI dalam berbagai fitur pencariannya, seperti Google Bard, SGE (Search Generative Experience), dan kemampuan memahami konteks pencarian yang lebih mendalam.
Pendekatan yang bijak adalah melihat AI sebagai alat pelengkap, bukan pengganti total. Ia dapat mengotomatisasi tugas-tugas rutin, menganalisis pola data dalam skala besar, atau membantu dalam proses kreatif awal. Namun, untuk validasi fakta, pengambilan keputusan strategis yang kritis, atau tugas-tugas yang memerlukan pemahaman nuansa manusia, peran verifikasi dan intervensi manusia tetap esensial. Ini berarti, baik bagi individu maupun organisasi, penting untuk mengembangkan literasi AI agar dapat mengoptimalkan penggunaannya sekaligus memahami batas-batasnya.

Strategi Cerdas Mengadopsi AI
Mengingat tantangan akurasi dan keandalan yang masih melekat pada AI, perusahaan dan individu perlu mengadopsi strategi yang cerdas dalam mengintegrasikan teknologi ini. Pertama, selalu lakukan verifikasi silang terhadap informasi yang dihasilkan AI, terutama untuk data-data kritis. Jangan langsung mempercayai hasil AI tanpa cek ulang. Kedua, gunakan AI untuk tugas-tugas yang memang ia kuasai, seperti otomatisasi proses, analisis data dalam skala besar, atau pembuatan draf awal konten, bukan sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
Ketiga, investasikan dalam pengembangan keterampilan SDM untuk memahami cara kerja AI, mengidentifikasi bias, dan mampu mengoreksi output yang keliru. Keempat, pertimbangkan kombinasi model hibrida di mana AI bekerja berdampingan dengan pengawasan manusia. Pendekatan ini memungkinkan pemanfaatan potensi AI sambil memitigasi risiko kesalahannya. Seperti yang disimpulkan oleh Bima Marzuki, “Sebelum kita FOMO dengan AI, ada beberapa hal yang kita perlu perhatikan. Menurut saya, sekarang ini, setidaknya 1-2 tahun ke depan, AI belum akan menggantikan Google.” Ini adalah pengingat penting untuk tetap rasional dan strategis dalam menghadapi gelombang inovasi AI yang terus bergulir.

About applegeekz

Check Also

youtube down lebih dari 10 ribu pengguna lapor alami gangguan index

YouTube ‘Down’, Lebih dari 10 Ribu Pengguna Lapor Alami Gangguan

JAKARTA – Jumat, 19 Desember 2025, menjadi hari yang cukup membuat frustrasi bagi jutaan pengguna …