...
warga aceh tengah hanya konsumsi labu rebus sebelum terima bantuan index
warga aceh tengah hanya konsumsi labu rebus sebelum terima bantuan index

Warga Aceh Tengah Hanya Konsumsi Labu Rebus Sebelum Terima Bantuan

Menguak Realita Pilu: Bertahan Hidup dengan Labu Rebus di Tengah Krisis Pangan Aceh Tengah Pasca Bencana

Bencana banjir dan tanah longsor yang melanda Kabupaten Aceh Tengah menyisakan luka mendalam, tidak hanya bagi mereka yang rumahnya hancur, tetapi juga bagi mereka yang terdampak secara tidak langsung namun fundamental. Di tengah puing-puing ekonomi yang lumpuh, kisah Fatimah (53), seorang janda dengan satu anak, menjadi gambaran pilu akan realitas krisis pangan yang menimpa masyarakat paling rentan. Selama berminggu-minggu pasca bencana, Fatimah dan putrinya hanya mampu bertahan hidup dengan mengonsumsi labu rebus, sebuah potret kelam sebelum akhirnya uluran tangan kemanusiaan tiba.

Pada hari-hari kelam tersebut, Fatimah tak punya pilihan lain. “Gak ada lagi beras. Cuma itu, buah labu dikasih orang kemarin,” ujarnya dengan suara lirih di kediaman sementaranya. Rumah kosan sederhana di Kampung Simpang Kelaping, Kecamatan Pegasing, menjadi saksi bisu perjuangan ibu paruh baya ini melawan kelaparan. Di balik identitas KTP-nya yang terdaftar sebagai warga Kampung Gelelungi, juga di Kecamatan Pegasing, ia adalah representasi dari ribuan jiwa yang terperangkap dalam lingkaran kesulitan ekonomi yang diperparah oleh bencana.

Fatimah: Potret Kerentanan yang Terlupakan

Sebelum bencana, Fatimah adalah seorang buruh serabutan, mengandalkan penghasilan harian yang tak menentu untuk menghidupi keluarganya. Namun, pasca banjir dan tanah longsor, roda ekonomi di Aceh Tengah seolah berhenti berputar. Pekerjaan serabutan tak lagi ada; toko-toko tempat ia biasa membantu kini tutup. Situasi ini bukan hanya mengikis pendapatannya, tetapi juga memutus aksesnya terhadap kebutuhan dasar, termasuk beras sebagai makanan pokok.

Ironisnya, Fatimah adalah salah satu dari sekian banyak korban “tidak langsung” yang kerap terlewat dari perhatian. Rumahnya tidak hancur diterjang banjir atau longsor, sehingga ia tidak masuk dalam kategori prioritas penerima bantuan awal. “Belum pernah dapat bantuan,” tegasnya, mengungkapkan kekecewaan atas distribusi bantuan pemerintah yang belum menyentuh dirinya, bahkan beras yang seharusnya didistribusikan melalui desa pun tak kunjung ia terima. Kondisi ini menyoroti celah dalam mekanisme penyaluran bantuan yang seringkali mengabaikan mereka yang paling rentan secara sosial-ekonomi.

Krisis Pangan dan Lumpuhnya Ekonomi Lokal

Apa yang dialami Fatimah bukanlah kasus tunggal. Relawan kemanusiaan, Ayu Rz, menegaskan bahwa Fatimah adalah salah satu dari banyak wajah kerentanan sosial-ekonomi yang ia temui. Menurut Ayu, warga dengan tingkat ekonomi lemah seperti Fatimah memiliki daya tahan yang sangat terbatas terhadap risiko kelaparan, apalagi di tengah kondisi krisis pasca bencana. Dampak isolasi daerah akibat kerusakan infrastruktur tidak hanya menghambat penyaluran bantuan, tetapi juga melumpuhkan aktivitas ekonomi secara drastis.

“Kondisi semakin mengkhawatirkan, dampak isolasi daerah tidak main-main. Ekonomi lumpuh, terjadi krisis pangan. Setiap hari makin banyak saya dengar ibu-ibu tidak punya beras di rumah,” jelas Ayu. Krisis pangan yang meluas ini menjadi ancaman nyata, terutama bagi kelompok perempuan rentan, para janda, dan perempuan tulang punggung keluarga yang kini kehilangan mata pencarian. Hilangnya akses terhadap pekerjaan berarti hilangnya kemampuan untuk membeli makanan, yang pada akhirnya memaksa mereka mengonsumsi apa pun yang tersedia, bahkan jika itu hanya labu rebus.

Uluran Tangan Kemanusiaan: Secercah Harapan dari Komunitas

Melihat urgensi situasi yang semakin memburuk, terutama setelah 20 hari pasca bencana tanpa ada perubahan signifikan bagi kelompok rentan, Ayu Rz tak tinggal diam. Ia tergerak untuk menggalang donasi secara mandiri. Inisiatif ini berawal dari keprihatinan mendalam terhadap kondisi ibu-ibu di daerahnya yang semakin kesulitan menemukan beras.

“Akhirnya saya coba galang donasi seadanya, Alhamdulillah ada yang membantu,” tutur Ayu. Dengan semangat gotong royong, donasi terkumpul dan segera disalurkan. Sehari setelah penggalangan dana, Ayu bersama timnya mendatangi rumah-rumah calon penerima bantuan yang telah didata, memprioritaskan kelompok perempuan rentan. Setiap penerima, termasuk Fatimah, mendapatkan lima kilogram beras dan satu paket bingkisan makanan ringan, sebuah bantuan yang sangat berarti di tengah kelangkaan.

Solidaritas dan Masa Depan Aceh Tengah

Pada hari penyaluran tersebut, sebanyak 26 orang penerima telah merasakan manfaat dari donasi para dermawan. “Alhamdulillah itu hasil donasi dari para hamba Allah, amanah untuk saya sampaikan. Masih ada lagi sisanya, akan segera kita salurkan juga kepada yang membutuhkan,” pungkas Ayu, menunjukkan komitmen untuk terus membantu. Kisah ini bukan hanya tentang bantuan pangan, melainkan juga tentang solidaritas kemanusiaan yang tumbuh di tengah keterpurukan.

Peristiwa ini menjadi pengingat penting bagi semua pihak, baik pemerintah maupun organisasi kemanusiaan, untuk memperluas jangkauan bantuan dan memastikan tidak ada lagi korban bencana yang terlupakan, terlepas dari apakah rumah mereka hancur atau tidak. Dampak tidak langsung bencana, terutama pada sektor ekonomi dan ketersediaan pangan, memerlukan perhatian serius dan solusi jangka panjang. Kisah Fatimah dan labu rebusnya adalah panggilan untuk merenung dan bertindak, demi memastikan martabat dan kelangsungan hidup setiap warga yang terdampak bencana tetap terjaga di Aceh Tengah.

About applegeekz

Check Also

ojk bakal tertibkan praktik penagihan utang usai pengeroyokan kalibata index

OJK Bakal Tertibkan Praktik Penagihan Utang Usai Pengeroyokan Kalibata

Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil langkah progresif untuk menertibkan praktik penagihan utang di …

Seraphinite AcceleratorOptimized by Seraphinite Accelerator
Turns on site high speed to be attractive for people and search engines.