...

Uji Materi UU BUMN Ditolak MK: Perubahan Undang-Undang Baru Jadi Penentu

Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan penting yang menyatakan tidak dapat diterimanya empat permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Keputusan ini diambil bukan karena substansi permohonan tidak relevan, melainkan karena revisi terbaru atas undang-undang tersebut telah disahkan oleh Presiden di tengah berjalannya proses persidangan. Dinamika legislasi ini secara efektif menggugurkan objek sengketa yang diajukan oleh para pemohon, menyoroti kecepatan proses perubahan hukum di Indonesia.

Objek Permohonan yang Kehilangan Relevansi Hukum

Dalam sidang pengucapan putusan di Jakarta pada Kamis, Ketua Mahkamah Konstitusi, Suhartoyo, secara resmi menyatakan, “Menyatakan permohonan para pemohon Nomor 38/PUU-XXIII/2025, Nomor 43/PUU-XXIII/2025, Nomor 44/PUU-XXIII/2025, dan Nomor 80/PUU-XXIII/2025 tidak dapat diterima.” Keputusan ini menegaskan bahwa keempat perkara tersebut telah kehilangan pijakan hukum untuk dilanjutkan.

Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dalam pertimbangan hukumnya menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN, yang menjadi sasaran uji materi, telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2025. Undang-undang baru ini disahkan pada awal Oktober ini, beberapa waktu setelah permohonan uji materi diajukan dan sedang dalam proses persidangan.

Mahkamah, setelah mencermati dengan saksama, menemukan bahwa persoalan konstitusionalitas norma pasal-pasal yang didalilkan oleh para pemohon dalam keempat perkara tersebut telah diakomodasi dan menjadi bagian dari perubahan dalam UU BUMN yang baru. Dengan demikian, objek permohonan yang diajukan tidak lagi sama dengan rumusan dan substansi norma pada UU BUMN yang lama. Kondisi ini dalam terminologi hukum dikenal sebagai ‘kehilangan objek’ (null and void).

Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan

Lebih lanjut, Ridwan Mansyur menegaskan bahwa berdasarkan pertimbangan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan, Mahkamah berpendirian bahwa permohonan a quo (tersebut) menjadi tidak relevan lagi untuk diteruskan dan dipertimbangkan lebih lanjut. Prinsip ini menjadi fondasi penting dalam sistem peradilan di Indonesia, memastikan bahwa proses hukum berjalan efisien dan tidak membuang-buang sumber daya untuk perkara yang secara substansi telah kehilangan dasar hukumnya.

Keputusan ini juga menunjukkan bagaimana proses legislasi dan yudikatif saling berinteraksi. Ketika sebuah undang-undang diuji di MK, perubahan dalam regulasi itu sendiri bisa saja memengaruhi jalannya uji materi, bahkan mengakhiri perkara sebelum putusan akhir dicapai. Ini adalah contoh nyata dari dinamika hukum ketatanegaraan yang terus berkembang.

Latar Belakang Uji Materi Sebelum Perubahan Undang-Undang

Keempat perkara uji materi ini diajukan oleh berbagai pihak yang mempersoalkan sejumlah pasal dalam UU BUMN lama, yakni UU Nomor 1 Tahun 2025. Perkara-perkara ini bergulir di MK sebelum DPR menyetujui revisi terbaru UU BUMN menjadi UU Nomor 16 Tahun 2025. Mahkamah Konstitusi sejatinya telah menggelar persidangan hingga tahap mendengarkan keterangan dari DPR dan pemerintah.

Dalam persidangan yang berlangsung pada Senin (23/10), Komisi VI DPR RI dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah menjelaskan ihwal perubahan UU BUMN tersebut kepada majelis hakim. Keterangan ini tentunya memberikan gambaran komprehensif mengenai alasan dan substansi perubahan, yang kemudian menjadi dasar pertimbangan MK dalam menyatakan permohonan tidak dapat diterima.

Identitas Pemohon dan Pasal-Pasal yang Diuji

Setiap permohonan uji materi datang dengan latar belakang dan fokus pasal yang berbeda, mencerminkan beragam kekhawatiran masyarakat sipil dan akademisi terhadap regulasi BUMN. Berikut adalah rincian para pemohon dan pasal-pasal yang mereka ujikan:

1. Perkara Nomor 38/PUU-XXIII/2025: Diajukan oleh seorang dosen dan advokat, Rega Felix. Ia menguji Pasal 3H ayat (2), Pasal 3X ayat (1), Pasal 3AA ayat (2), Pasal 4B, Pasal 9G, Pasal 87 ayat (5), serta penjelasan Pasal 4B dan Pasal 9G UU BUMN.

2. Perkara Nomor 43/PUU-XXIII/2025: Diajukan oleh tiga mahasiswa, yakni A. Fahrur Rozi, Dzakwan Fadhil Putra Kusuma, dan Muhammad Jundi Fathi Rizky. Objek uji materi mereka sama dengan Perkara Nomor 38, yaitu Pasal 3H ayat (2), Pasal 3X ayat (1), Pasal 3AA ayat (2), Pasal 4B, Pasal 9G, Pasal 87 ayat (5), serta penjelasan Pasal 4B dan Pasal 9G UU BUMN.

3. Perkara Nomor 44/PUU-XXIII/2025: Dimohonkan oleh perorangan warga negara bernama Heri Hasan Basri dan Solihin. Keduanya meminta agar Pasal 3X ayat (1) serta Pasal 3Y huruf a dan b UU BUMN dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

4. Perkara Nomor 80/PUU-XXIII/2025: Diajukan oleh Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS) bersama tiga perorangan warga negara. Mereka menguji Pasal 3F ayat (2) huruf a dan b, Pasal 3G ayat (2) huruf b dan c, Pasal 3H ayat (2), Pasal 3X ayat (1), serta Pasal 71 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU BUMN.

Implikasi dan Prospek ke Depan

Keputusan MK ini menunjukkan bahwa legislasi yang responsif dapat menjawab kritik dan pertanyaan konstitusional yang diajukan oleh masyarakat. Dengan disahkannya UU Nomor 16 Tahun 2025, diharapkan isu-isu yang sebelumnya menjadi kekhawatiran para pemohon telah teratasi atau setidaknya telah diperbarui dalam kerangka hukum yang baru. Hal ini juga menjadi pelajaran bagi para pihak yang ingin mengajukan uji materi untuk selalu memantau perkembangan legislasi agar objek permohonan tidak kehilangan relevansinya.

Peran BUMN sebagai pilar ekonomi nasional sangatlah krusial. Oleh karena itu, kerangka hukum yang mengatur BUMN haruslah kokoh, adil, dan sesuai dengan semangat konstitusi. Putusan MK ini, meskipun mengakhiri empat perkara uji materi, justru menandai babak baru dalam pengaturan BUMN di Indonesia, dengan harapan undang-undang yang baru dapat memberikan landasan yang lebih kuat dan adaptif terhadap tantangan zaman.

Dengan demikian, langkah MK ini bukan sekadar penolakan teknis, tetapi juga cerminan dari prinsip supremasi hukum yang terus beradaptasi dengan perubahan dan kebutuhan legislasi yang dinamis. Keputusan ini mengukuhkan pentingnya koordinasi antara lembaga legislatif dan yudikatif dalam menjaga kepastian dan keadilan hukum di Indonesia.

About applegeekz

Check Also

Pati Siaga Penuh! 3.379 Personel Gabungan Dikerahkan Amankan Sidang Hak Angket DPRD, Jamin Ketertiban Publik

Pati, Jawa Tengah – Sebuah pengerahan kekuatan keamanan yang masif terjadi di Kabupaten Pati, Jawa …