...
mk tegaskan penentuan royalti diatur di peraturan perundang undangan index
mk tegaskan penentuan royalti diatur di peraturan perundang undangan index

MK Tegaskan Penentuan Royalti Diatur di Peraturan Perundang-undangan

Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengukir sejarah dalam lanskap hukum kekayaan intelektual Indonesia dengan putusan krusialnya. Dalam sidang yang digelar pada hari Rabu, MK secara tegas menyatakan bahwa penentuan royalti atau imbalan bagi pencipta karya dalam konteks hak cipta harus diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. Keputusan ini merupakan respons atas uji materi Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang diajukan oleh sejumlah musisi terkemuka, termasuk Tubagus Arman Maulana (Armand Maulana) dan 28 rekannya.

Latar Belakang Gugatan: Suara Musisi di Tengah Ketidakpastian

Selama ini, Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta yang mengatur tentang mekanisme perolehan royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) kerap menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum. Frasa kunci yang menjadi sorotan adalah “imbalan yang wajar”. Pasal tersebut berbunyi, “Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan hak cipta dan hak terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial”.

Bagi para pemohon, frasa “imbalan yang wajar” ini multitafsir dan rentan terhadap subjektivitas. Tanpa parameter yang jelas, besaran royalti yang diterima oleh para pencipta karya, khususnya musisi dan penyanyi, seringkali tidak mencerminkan nilai sebenarnya dari karya mereka atau usaha keras yang telah dicurahkan. Hal ini berpotensi merugikan para seniman dan menghambat pertumbuhan industri kreatif yang sehat. Mereka berargumen bahwa ketidakpastian ini menciptakan ruang negosiasi yang tidak seimbang antara pencipta dan pengguna komersial, di mana para pencipta seringkali berada dalam posisi yang lemah.

Amar Putusan MK: Mengurai Frasa “Imbalan yang Wajar”

Melalui Putusan Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025, MK mengabulkan sebagian permohonan Armand Maulana dkk. Ketua MK Suhartoyo, saat membacakan amar putusan, menyatakan bahwa frasa “imbalan yang wajar” dalam norma Pasal 87 ayat (1) UU 28/2014 adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun, pertentangan ini bersifat bersyarat, yaitu “sepanjang tidak dimaknai ‘imbalan yang wajar, sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan’”.

Penegasan ini memberikan kejelasan fundamental. Mahkamah memandang bahwa frasa tersebut, dalam bentuk aslinya, memang menimbulkan ruang penafsiran yang luas dan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, MK merasa perlu adanya parameter yang lebih konkret. Parameter ini, menurut Mahkamah, harus mengacu pada tarif yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh lembaga atau instansi yang berwenang. Ini berarti tidak lagi ada ruang bagi tafsiran bebas yang berpotensi merugikan salah satu pihak.

Implikasi Putusan: Keadilan Bagi Kreator dan Keseimbangan Ekosistem

Putusan MK ini membawa implikasi yang luas dan positif bagi ekosistem hak cipta di Indonesia. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dalam pertimbangan hukumnya, menekankan beberapa poin penting. Pertama, penetapan tarif royalti harus melibatkan partisipasi aktif dari para pemangku kepentingan terkait. Ini mencakup pencipta, LMK, pengguna, dan pemerintah. Keterlibatan ini penting untuk memastikan tarif yang ditetapkan adil, representatif, dan dapat diterima oleh semua pihak. Ini adalah langkah maju menuju transparansi dan akuntabilitas dalam penentuan royalti.

Kedua, royalti atau imbalan yang ditetapkan tidak boleh mengabaikan kepentingan masyarakat untuk dapat mengekspresikan dan menikmati hasil karya ciptaan secara mudah dan terjangkau. Keseimbangan antara hak pencipta dan akses publik adalah esensial. Tarif yang terlalu tinggi berisiko menghambat penyebaran karya dan mengurangi apresiasi masyarakat terhadap seni dan budaya. Sebaliknya, tarif yang terlalu rendah akan merugikan pencipta. MK menghendaki adanya titik temu yang harmonis.

Ketiga, putusan ini memperkuat peran dan tanggung jawab Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). LMK wajib melakukan koordinasi dan menetapkan besaran royalti sesuai dengan kelaziman berdasarkan prinsip hak cipta. Selama ini, tarif royalti telah ditentukan dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016. Namun, dengan adanya putusan MK ini, kerangka hukum untuk penetapan tarif akan menjadi lebih kuat dan tidak mudah digugat.

Tantangan dan Harapan ke Depan: Menuju Regulasi yang Komprehensif

Meski putusan MK telah memberikan arah yang jelas, pekerjaan rumah besar menanti pembentuk undang-undang. Enny Nurbaningsih menegaskan bahwa pembentuk undang-undang perlu segera mengatur perihal royalti atau imbalan yang terukur dan proporsional, serta tidak memberatkan pengguna ciptaan dan masyarakat pada umumnya. Ini berarti pemerintah dan DPR perlu menyusun regulasi turunan yang lebih detail dan komprehensif, bisa dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri, yang mengacu pada semangat putusan MK ini.

Proses perumusan regulasi ini tentu tidak akan mudah. Dibutuhkan kajian mendalam, dialog intensif dengan berbagai pihak (seniman, pelaku industri, lembaga pendidikan, pemerintah), dan kehati-hatian agar tidak menimbulkan masalah baru. Tujuan utamanya adalah menciptakan sistem pembayaran royalti yang transparan, efisien, adil, dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam ekosistem hak cipta. Sistem lisensi kolektif (blanket license) yang diatur dalam Bab XII UU Hak Cipta juga perlu diperkuat dengan landasan hukum yang lebih kokoh melalui regulasi baru ini.

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta ini merupakan tonggak penting dalam upaya mewujudkan keadilan bagi para pencipta karya dan membangun industri kreatif yang berkelanjutan di Indonesia. Dengan mewajibkan pengaturan royalti dalam peraturan perundang-undangan, MK telah menghilangkan ambiguitas dan memberikan kepastian hukum yang telah lama dinantikan. Kini, bola ada di tangan pemerintah dan DPR untuk segera merumuskan regulasi yang komprehensif, proporsional, dan mampu mengakomodasi kepentingan semua pihak demi kemajuan ekosistem hak cipta nasional.

About applegeekz

Check Also

kemenkeu longgarkan syarat tkd untuk pemda terdampak banjir sumatra index

Kemenkeu Longgarkan Syarat TKD Untuk Pemda Terdampak Banjir Sumatra

Solidaritas Pemerintah Pusat di Tengah Bencana: Respon Kemenkeu untuk Pemda Terdampak Banjir Sumatra Bencana alam, …

Seraphinite AcceleratorOptimized by Seraphinite Accelerator
Turns on site high speed to be attractive for people and search engines.