Indonesia, sebuah gugusan ribuan pulau yang kaya akan suku, agama, ras, dan budaya, selalu menghadapi tantangan sekaligus potensi besar dalam keberagamannya. Di tengah dinamika sosial yang kerap menguji, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, kembali menegaskan sebuah kebenaran fundamental: kerukunan dan toleransi adalah DNA sejati bangsa Indonesia. Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan sebuah seruan untuk memperkuat fondasi kebangsaan demi masa depan yang lebih kokoh dan berdaya saing.
Pernyataan tersebut disampaikan Mu’ti dalam sebuah acara krusial, yakni pembukaan Festival Toleransi dan Budaya yang diselenggarakan oleh Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP) bersama Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah di Jakarta. Acara ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan dan merayakan identitas bangsa yang majemuk, sekaligus menegaskan kembali komitmen terhadap nilai-nilai luhur yang telah mengikat kita selama berabad-abad.
Mengukuhkan DNA Bangsa: Pilar Kerukunan dan Toleransi
Ketika Abdul Mu’ti menyebut kerukunan sebagai ‘DNA bangsa’, ia bukan hanya menggunakan metafora. Ia merujuk pada sebuah cetak biru genetik yang secara inheren mendefinisikan siapa kita sebagai bangsa. Sejak masa pra-kemerdekaan hingga era modern, keberagaman selalu menjadi fondasi sosial yang menyatukan Nusantara. Ini adalah kekuatan intrinsik yang membedakan Indonesia, menjadikannya model bagi banyak negara lain dalam mengelola pluralisme.
Dalam konteks ini, toleransi bukan sekadar sikap pasif menerima perbedaan, melainkan sebuah tindakan aktif untuk memahami, menghormati, dan bahkan merayakan kekayaan yang muncul dari keberagaman tersebut. Mu’ti menekankan bahwa inilah yang harus terus dirawat dan diperkuat. Bayangkan sebuah pohon, DNA-nya menentukan jenis buah dan kekuatan akarnya. Begitu pula bangsa Indonesia; kerukunan adalah akarnya yang membuat kita berdiri tegak dan menghasilkan ‘buah’ persatuan dan kemajuan.
Dari Seremonial Menuju Identitas Nasional yang Kokoh
Salah satu poin penting yang diangkat oleh Mu’ti adalah bahwa kerja sama lintas agama dan budaya tidak boleh hanya berakhir sebagai kegiatan seremonial belaka. Seringkali, perayaan keberagaman hanya berhenti pada tataran permukaan, tanpa menyentuh esensi penguatan identitas kebangsaan yang lebih dalam. Mu’ti menegaskan bahwa inilah saatnya untuk melampaui formalitas dan meresapi makna sebenarnya dari interaksi antar-sesama anak bangsa.
Penguatan identitas kebangsaan melalui kolaborasi aktif lintas keyakinan dan latar belakang budaya adalah sebuah investasi jangka panjang. Ini berarti menciptakan ruang di mana setiap individu merasa dihargai dan memiliki kontribusi yang sama pentingnya dalam pembangunan bangsa. Perbedaan, dalam pandangan Mu’ti, bukanlah sumber perpecahan. Sebaliknya, ia adalah kekayaan yang justru membuat kita saling memperkuat, saling melengkapi, dan bekerja sama demi tujuan yang lebih besar. Energi dan perspektif yang beragam akan menghasilkan solusi yang lebih inovatif dan komprehensif untuk tantangan nasional.
Tiga Kunci Toleransi Autentik: Dialog, Penerimaan, dan Kolaborasi
Untuk mewujudkan toleransi yang autentik, yang benar-benar menjadi bagian tak terpisahkan dari DNA bangsa, Abdul Mu’ti menguraikan tiga kunci utama yang perlu diimplementasikan: dialog terbuka (head to head), penerimaan dengan lapang dada (heart to heart), dan kerja sama untuk kemaslahatan bersama (hand to hand).
1. **Dialog Terbuka (Head to Head):** Ini bukan sekadar berbicara, melainkan mendengarkan dengan penuh empati dan keinginan untuk memahami perspektif orang lain. Dialog `head to head` berarti kita siap untuk bertukar pikiran, beradu argumen secara sehat, dan mencari titik temu melalui diskusi yang konstruktif. Ini adalah fondasi untuk membangun jembatan pemahaman di tengah perbedaan pandangan.
2. **Penerimaan dengan Lapang Dada (Heart to Heart):** Aspek ini menyoroti dimensi emosional dan spiritual. Penerimaan `heart to heart` berarti membuka hati untuk menerima keberadaan orang lain dengan segala perbedaannya, tanpa prasangka atau penghakiman. Ini adalah tentang mengembangkan rasa kasih sayang dan persaudaraan sejati, yang memungkinkan kita melihat sesama manusia sebagai bagian dari keluarga besar bangsa, terlepas dari latar belakang mereka.
3. **Kerja Sama untuk Kemaslahatan Bersama (Hand to Hand):** Setelah dialog dan penerimaan, langkah selanjutnya adalah bertindak. Kerja sama `hand to hand` menekankan aksi nyata dalam membangun kebaikan bersama. Ini bisa berarti kolaborasi dalam proyek sosial, pendidikan, pembangunan ekonomi, atau upaya-upaya menjaga lingkungan. Ketika berbagai elemen masyarakat bekerja sama, hambatan-hambatan perbedaan akan melebur, dan kekuatan kolektif akan muncul untuk menciptakan perubahan positif.
Festival Toleransi dan Budaya: Wujud Nyata Komitmen Kebangsaan
Festival Toleransi dan Budaya ini adalah manifestasi nyata dari ketiga kunci tersebut. Sebagai penyelenggaraan yang kedua kalinya, acara ini menunjukkan komitmen berkelanjutan dalam mempromosikan nilai-nilai kerukunan. Festival ini tidak hanya menghadirkan pameran batik dengan tema-tema etnik yang memukau dari berbagai budaya dan komunitas penghayat kepercayaan, tetapi juga menjadi platform edukasi.
Beragam organisasi keagamaan dan penghayat kepercayaan turut meramaikan dengan memberikan edukasi mengenai keberagaman. Ini adalah ruang di mana masyarakat dapat belajar langsung tentang tradisi, keyakinan, dan cara hidup yang berbeda, menghilangkan stigma dan membangun pemahaman. Pameran batik, misalnya, bukan hanya tentang estetika, tetapi juga tentang narasi sejarah dan filosofi di balik setiap motif yang merepresentasikan kekayaan budaya lokal. Mu’ti menegaskan bahwa ragam budaya tersebut merupakan bukti nyata bahwa perbedaan justru memperkaya kehidupan berbangsa, bukan memperlemahnya.
Progresivitas Bangsa Melalui Ruang Setara
Indonesia hanya akan dapat maju dan mencapai potensi penuhnya bila kerukunan dijaga dengan sungguh-sungguh, terutama dengan memberikan ruang yang setara bagi semua kelompok agama dan budaya, termasuk komunitas minoritas. Inklusivitas adalah kunci. Ketika setiap suara didengar, setiap identitas diakui, dan setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi, maka inovasi akan berkembang, kreativitas akan bermekaran, dan konflik sosial akan diminimalisir.
Penguatan kerukunan ini, sebagaimana disampaikan Mu’ti, juga sejalan dengan upaya pemerintah dalam meneguhkan Pancasila sebagai ideologi negara dan menjaga kedaulatan Indonesia. Pancasila, dengan lima silanya, secara intrinsik mengandung nilai-nilai persatuan, keadilan, dan kemanusiaan yang menjadi landasan kerukunan. Dengan memegang teguh nilai-nilai ini, Indonesia dapat membangun masa depan yang cerah, di mana setiap warga negara merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap kemajuan bersama.
Festival Toleransi dan Budaya adalah sebuah titik awal, sebuah tonggak penting untuk membangun Indonesia masa depan dengan semangat kebersamaan, kerukunan, dan kebinekaan yang tak tergoyahkan. Ini adalah panggilan untuk kita semua, dari pendidik hingga pelajar, dari pemimpin hingga rakyat biasa, untuk terus merawat dan memperkuat DNA kebangsaan ini, menjadikan kerukunan sebagai kekuatan abadi yang mengantar Indonesia menuju puncak kejayaan.
Apple Technos Memberikan informasi terkini khususnya teknologi dan produk apple