Jendela Masa Lalu dalam Secarik Kartu Pos
Di tengah gempuran teknologi digital yang serba cepat, artefak-artefak masa lalu seringkali terlupakan. Namun, Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon kembali mengingatkan kita akan kekuatan tersembunyi dari sebuah benda sederhana: kartu pos. Lebih dari sekadar medium pengiriman pesan, kartu pos ternyata menyimpan narasi sejarah yang kaya, merekam jejak peradaban, dan menjadi saksi bisu dinamika kota-kota di Indonesia. Pernyataan ini disampaikannya dalam konteks peluncuran sebuah buku yang istimewa, menggugah kesadaran akan pentingnya melestarikan warisan visual.
Bertempat di Kawasan Kota Lama Semarang, Fadli Zon menegaskan bahwa kartu pos merupakan medium tak ternilai untuk mendokumentasikan wajah kota, arsitektur bangunan, tata letak jalan, hingga kehidupan sosial masyarakat pada zamannya. Pernyataan ini menjadi sorotan dalam peluncuran ‘Buku Kartu Pos Bergambar Samarangh’, sebuah inisiatif kolaboratif antara Kementerian Kebudayaan dan Pemerintah Kota Semarang yang bertujuan untuk menghidupkan kembali ingatan historis melalui literasi visual.
Lebih dari Sekadar Koleksi: Kartu Pos sebagai Narator Sejarah Urban
Bagi sebagian orang, kartu pos, prangko, dan cap pos mungkin hanya dianggap sebagai hobi koleksi atau benda antik semata. Namun, Fadli Zon, yang juga seorang filatelis ulung, melihatnya dari perspektif yang jauh lebih dalam. “Kartu pos, prangko, dan cap pos bukan sekadar benda koleksi. Semua itu bercerita,” ungkapnya. Dari setiap goresan gambar, setiap tulisan, dan setiap detail cap pos, kita dapat menelusuri rentetan peristiwa sejarah yang membentuk sebuah kota.
Melalui kartu pos, seseorang bisa ‘membaca’ sejarah perkembangan kota, memahami teknik fotografi yang digunakan pada era tertentu, hingga menyelami dinamika sosial dan budaya yang berkembang pada masanya. Perubahan gaya hidup, mode pakaian, transportasi, dan bahkan lanskap politik dapat terungkap dari detail-detail visual yang terekam. Ini menjadikan kartu pos sebagai arsip visual primer yang otentik, menyediakan perspektif unik yang mungkin tidak selalu tercatat dalam dokumen tertulis konvensional.
“Samarangh”: Menggali Akar Identitas Melalui Ejaan Lama
Penggunaan ejaan lama “Samarangh” dalam judul buku bukanlah tanpa alasan. Fadli Zon menjelaskan bahwa ini merupakan upaya yang disengaja untuk menghadirkan kembali ingatan historis yang lebih mendalam. Ejaan tersebut berfungsi sebagai pengingat akan akar nama kota dan evolusinya seiring waktu, bukan untuk mengubah nama yang dikenal saat ini. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat identitas budaya dan historis kota Semarang di benak masyarakat, membuat mereka lebih terhubung dengan masa lalu yang membentuk identitas kota tersebut.
Ini adalah strategi cerdas dalam pelestarian bahasa dan sejarah, menunjukkan bahwa perubahan kecil dalam penulisan dapat memicu refleksi besar tentang warisan budaya. Konsep ini menegaskan bahwa sejarah bukan hanya tentang tanggal dan peristiwa, tetapi juga tentang bagaimana kita memandang dan menarasikan identitas suatu tempat melalui berbagai medium, termasuk bahasa dan ejaan.
Komitmen Pelestarian: Kolaborasi Antara Pusat dan Daerah
Peluncuran ‘Buku Kartu Pos Bergambar Samarangh’ merupakan manifestasi nyata dari komitmen bersama antara Kementerian Kebudayaan dan Pemerintah Kota Semarang dalam upaya pelestarian, pendokumentasian, serta penguatan nilai-nilai budaya. Kolaborasi ini menunjukkan bahwa upaya menjaga warisan budaya memerlukan sinergi dari berbagai pihak, baik pemerintah pusat maupun daerah.
Melalui medium literasi visual dan sejarah ini, diharapkan masyarakat dapat lebih aktif terlibat dalam memahami dan menjaga aset-aset budaya mereka. Pendokumentasian dalam bentuk buku juga memastikan bahwa informasi dan gambar-gambar berharga ini dapat diakses oleh generasi mendatang, menjadi sumber belajar dan inspirasi yang berkelanjutan. Ini adalah investasi jangka panjang dalam pendidikan sejarah dan kesadaran budaya.
Menjelajahi Kota-Kota Lain: Visi Jaringan Sejarah Visual Nasional
Visi Kementerian Kebudayaan tidak berhenti di Semarang. Fadli Zon mengungkapkan rencana ambisius untuk menerbitkan buku-buku serupa yang mengangkat sejarah visual kota-kota besar lainnya di Indonesia. Yogyakarta, Bandung, Batavia (Jakarta), dan berbagai kota lain yang memiliki jejak sejarah kuat akan menjadi target berikutnya, dengan target sekitar sepuluh buku dalam proyek ini. Inisiatif ini menandai upaya sistematis untuk membangun sebuah arsip visual nasional yang komprehensif, menghubungkan narasi-narasi lokal menjadi tapestry sejarah Indonesia yang lebih besar.
Proyek ini akan menciptakan sebuah jaringan literasi visual yang memungkinkan masyarakat dari berbagai daerah untuk menjelajahi kekayaan sejarah urban Indonesia. Setiap buku akan menjadi jendela unik, memperlihatkan bagaimana setiap kota berkembang, beradaptasi, dan membentuk identitasnya sepanjang waktu. Ini tidak hanya memperkaya khazanah pengetahuan, tetapi juga memperkuat rasa kebangsaan dan apresiasi terhadap keragaman budaya di Nusantara.
Pameran “Potret Semarang”: Menghidupkan Kembali Ingatan Kolektif
Untuk melengkapi peluncuran buku, diadakan pula pameran temporer bertajuk ‘Potret Semarang dalam Bingkai Kartu Pos’. Pameran ini diselenggarakan selama tujuh hari, mulai 19 hingga 26 Desember 2025, memberikan kesempatan bagi masyarakat luas untuk secara langsung menyaksikan koleksi kartu pos bersejarah. Melalui pameran ini, pengunjung diajak menelusuri cerita masa lalu Kota Semarang, melihat perubahan ruang kota, serta memahami dinamika sejarah hanya melalui gambar.
Kehadiran pameran menjadi sarana interaktif yang efektif untuk mengkomunikasikan pesan-pesan sejarah. Dengan melihat visual yang konkret, masyarakat, khususnya generasi muda, dapat lebih mudah terhubung dan merasakan atmosfer masa lalu. Ini adalah cara edukatif yang menyenangkan untuk membangkitkan minat terhadap sejarah lokal dan nasional.
Apresiasi dan Harapan: Membangun Kecintaan Terhadap Sejarah Lokal
Fadli Zon menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Pemerintah Kota Semarang atas dukungan dan ruang yang diberikan untuk kegiatan kebudayaan di kawasan Kota Lama. Dukungan pemerintah daerah sangat krusial dalam keberhasilan program-program pelestarian budaya semacam ini. Ia berharap buku ini tidak hanya memperkaya khazanah pengetahuan tentang kota Semarang, tetapi juga dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai bagian dari narasi visual sejarah yang dinamis, menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Senada dengan Menbud, Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng Pramestuti, turut menyampaikan harapannya agar buku ini mampu menyentuh emosi serta membangkitkan kecintaan masyarakat Semarang terhadap sejarah kota mereka. Kecintaan terhadap sejarah adalah fondasi kuat untuk menjaga identitas dan warisan budaya sebuah bangsa.
Dari Koleksi Pribadi Menjadi Harta Nasional: Jejak Filateli Sang Menteri
Sebagai seorang filatelis sejati, Fadli Zon mengungkapkan bahwa dirinya telah mengumpulkan sekitar 7.000 hingga 8.000 kartu pos dari berbagai wilayah di Indonesia. Koleksi pribadinya yang masif ini diklasifikasikan berdasarkan kota, dengan jumlah terbanyak berasal dari kota-kota besar yang memiliki nilai sejarah tinggi seperti Batavia (Jakarta), Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan Bukittinggi (yang dahulu dikenal sebagai Fort de Kock). Koleksi ini bukan sekadar tumpukan kertas, melainkan harta karun visual yang merekam evolusi arsitektur, kehidupan sosial, dan lanskap urban selama berabad-abad.
Dedikasinya dalam mengumpulkan dan mempelajari kartu pos menunjukkan bagaimana hobi pribadi dapat bertransformasi menjadi kontribusi signifikan terhadap pelestarian sejarah dan kebudayaan. Koleksi ini menjadi bukti nyata potensi kartu pos sebagai sumber daya primer untuk penelitian sejarah dan pendidikan budaya.
Melampaui Gambar: Membaca Transformasi Kota dan Dinamika Sosial
Melalui karya-karya visual yang ditampilkan, pengunjung diajak untuk tidak hanya sekadar melihat gambar, tetapi untuk ‘membaca’ cerita di baliknya. “Melalui karya-karya ini, kita tidak hanya melihat gambar, tetapi juga membaca cerita tentang bagaimana kondisi sebuah jalan di masa lalu dan bagaimana keadaannya sekarang,” ujar Fadli Zon. Ini adalah inti dari literasi visual: kemampuan untuk menginterpretasikan dan memahami informasi dari gambar.
Kartu pos memungkinkan kita melakukan perjalanan waktu, membandingkan masa lalu dengan masa kini, dan memahami proses transformasi sebuah kota secara visual. Kita bisa melihat bagaimana bangunan-bangunan ikonik berubah, bagaimana infrastruktur berkembang, dan bagaimana pola interaksi sosial masyarakat bergeser. Ini memberikan pemahaman yang lebih konkret dan mendalam tentang evolusi peradaban.
Warisan Visual untuk Generasi Mendatang
Inisiatif seperti peluncuran buku dan pameran kartu pos di Semarang ini adalah langkah krusial dalam mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan mempromosikan warisan budaya tak benda dan benda. Kartu pos, yang seringkali dianggap remeh, ternyata menyimpan kekuatan naratif yang luar biasa dalam merekam sejarah. Melalui upaya kolektif ini, diharapkan masyarakat semakin menyadari nilai penting dari setiap artefak masa lalu, dan terdorong untuk turut serta dalam melestarikan jejak-jejak peradaban yang membentuk identitas bangsa Indonesia. Ini adalah warisan visual yang tak lekang oleh waktu, akan terus berbicara kepada generasi mendatang tentang kisah-kisah yang membentuk kita semua.
Apple Technos Berita Apple Terbaru, Rumor & Update Resmi