Ketika TikTok Berubah Warna di Washington
Narasi seputar TikTok di Amerika Serikat kembali memanas, mengambil giliran yang mengejutkan. Sosok yang pada tahun 2020 vokal menyerukan pemblokiran aplikasi berbagi video populer ini atas nama “keamanan nasional,” Donald Trump, kini justru menjadi “bidan” bagi lahirnya struktur kepemilikan baru yang kontroversial. Pergeseran ini bukan sekadar transaksi korporasi senilai USD14 miliar (sekitar Rp222 triliun) yang ditandatangani pada Kamis (19/12) antara ByteDance, perusahaan induk TikTok, dan konsorsium investor Barat. Ini adalah sebuah peta politik baru, di mana tudingan “mata-mata China” seolah menguap, digantikan oleh kekhawatiran akan skema penguasaan aset digital oleh lingkaran oligarki terdekat mantan presiden AS tersebut.
Entitas baru bernama TikTok USDS Joint Venture LLC kini lahir, dengan komposisi kepemilikan yang timpang: 80,1 persen dikuasai konsorsium AS dan global, sementara ByteDance terpojok di sudut minoritas dengan hanya 19,9 persen. Namun, pertanyaan mendasar yang kini menghantui para pengamat demokrasi bukan lagi soal angka kepemilikan. Sebaliknya, yang menjadi sorotan tajam adalah “siapa” yang kini memegang kendali atas layar gawai 170 juta warga Amerika, dan implikasi apa yang akan ditimbulkannya terhadap lanskap informasi dan kebebasan berekspresi di negara adidaya tersebut.
Transformasi Narasi: Dari Ancaman Global Menuju Kontrol Domestik
Perjalanan TikTok di kancah politik Amerika Serikat memang penuh liku. Pada era pemerintahan Trump sebelumnya, aplikasi ini dituding sebagai alat spionase bagi pemerintah Tiongkok, ancaman serius terhadap data pribadi warga AS, dan potensi risiko keamanan nasional. Seruan pemblokiran bergema, memicu perang dagang teknologi yang sengit antara Washington dan Beijing. Namun, dengan munculnya kesepakatan kepemilikan baru ini, retorika tersebut bergeser drastis. Isu keamanan nasional, yang sebelumnya menjadi kambing hitam, kini seolah-olah menjadi justifikasi bagi konsolidasi kekuatan digital di tangan entitas yang memiliki kedekatan politik dengan lingkaran kekuasaan di Washington.
Alih-alih “menghalau mata-mata China,” para kritikus berpendapat bahwa ini adalah upaya “merebut” aset strategis dari tangan asing untuk kemudian diserahkan kepada sekutu-sekutu politik dan finansial. Kesepakatan ini secara efektif mengurangi kontrol ByteDance atas operasional TikTok di AS secara signifikan, menyerahkan mayoritas saham kepada konsorsium yang didominasi Barat. Namun, ironisnya, proses divestasi ini tidak mengarah pada netralitas platform yang diharapkan, melainkan justru membuka babak baru kekhawatiran akan manipulasi politik dan potensi penyalahgunaan data, namun kali ini dari aktor domestik.
Jaringan Kekuatan di Balik Oracle dan Sekutu Trump
Melihat daftar pemegang saham mayoritas baru TikTok AS adalah seperti membaca buku tamu VIP di kediaman Trump. Pemain utamanya adalah Oracle, raksasa teknologi yang didirikan oleh Larry Ellison. Ellison bukan sekadar miliarder teknologi; ia adalah sekutu politik Trump yang loyal, donatur besar bagi kampanye Partai Republik, dan pemilik 41 persen saham Oracle.
Dalam skema baru ini, Oracle didapuk sebagai “mitra keamanan tepercaya” yang bertugas menjaga data pengguna AS. Secara teknis, ini mungkin terdengar sebagai solusi untuk masalah keamanan data. Namun, secara politis, penunjukan ini menempatkan infrastruktur informasi salah satu media sosial terbesar di dunia langsung di bawah orbit pengaruh Gedung Putih, terutama jika Trump kembali berkuasa. Selain Oracle, konsorsium ini diisi oleh Silver Lake, firma ekuitas swasta raksasa yang dikenal atas investasi di perusahaan teknologi, dan MGX, dana investasi teknologi berbasis di Abu Dhabi, yang menambah dimensi global pada struktur kepemilikan ini.
Sebelum kesepakatan ini rampung, nama-nama besar lain seperti Rupert Murdoch (raja media konservatif Fox News) dan Michael Dell (pendiri Dell Technologies) juga sempat disebut-sebut oleh Trump sebagai calon investor potensial, mengindikasikan pola preferensi terhadap individu-individu dengan koneksi politik dan finansial yang kuat. Senator Demokrat Elizabeth Warren dengan tajam menyebut fenomena ini sebagai “pengambilalihan oleh miliarder,” mengkritik bahwa Trump tidak sedang menyelamatkan data warga AS, melainkan sedang menyerahkan kendali algoritma kepada “teman-teman miliardernya.” Kritik ini menyoroti bahwa yang terjadi bukanlah netralisasi ancaman, melainkan pergeseran ancaman dari ranah geopolitik ke ranah oligarki domestik.
Dilema Logika Platform: Pasar, Privat, atau Profesional?
Paddy Leerssen, pakar tata kelola platform dari Universitas Amsterdam, dalam riset terbarunya, membedah bahaya dari pergeseran kepemilikan semacam ini. Ia membedakan antara “logika pasar” (market logic)—di mana perusahaan dijalankan demi profit pemegang saham seperti Apple atau Microsoft—dan “logika privat” (private logic)—di mana platform menjadi perpanjangan tangan ego pemiliknya, seperti X (Twitter) di bawah kendali Elon Musk yang sering kali mencerminkan pandangan pribadi Musk.
TikTok di bawah konsorsium baru ini berada di persimpangan jalan yang berbahaya. Di satu sisi, kehadiran investor institusional seperti Silver Lake dan MGX seharusnya menjamin berjalannya “logika pasar” yang rasional demi keuntungan finansial. Mereka tentu tidak ingin nilai investasi mereka hancur karena platform ditinggalkan pengguna akibat bias politik atau intervensi yang merugikan reputasi. Namun, besarnya pengaruh Larry Ellison dan kedekatannya yang tak terbantahkan dengan Donald Trump membuka celah masuknya “logika privat.”
Ada kekhawatiran nyata bahwa TikTok AS, serupa dengan bagaimana Musk mengubah X menjadi ruang gema bagi pandangan politik pribadinya, bisa disetir untuk mengamplifikasi narasi pro-pemerintah atau membungkam kritik. Skenario ini meniru pola pengendalian media yang lazim terjadi di negara-negara dengan demokrasi yang mundur (democratic backsliding), seperti yang terlihat di Hungaria atau Turki, di mana media sering kali digunakan sebagai corong propaganda politik penguasa. Ini bukan hanya soal sensor, tetapi juga soal manipulasi halus melalui algoritma yang menentukan konten apa yang dilihat jutaan orang.
Misteri Algoritma: Siapa yang Benar-benar Memegang Kendali Otak TikTok?
Di balik kesepakatan divestasi yang megah ini, tersisa satu misteri besar yang belum terpecahkan: siapa yang sebenarnya mengendalikan otak TikTok? ByteDance memang melepas mayoritas saham entitas AS, namun laporan menyebutkan bahwa mereka tetap memegang kendali atas “interoperabilitas produk global” dan mesin pencetak uang utama seperti fitur e-commerce dan sistem iklan.
Rush Doshi, mantan pejabat Dewan Keamanan Nasional era Biden, menyoroti ketidakjelasan status algoritma. Pertanyaan krusialnya adalah: Apakah kode-kode canggih yang menentukan video apa yang viral dan bagaimana konten direkomendasikan kepada pengguna itu benar-benar ditransfer sepenuhnya ke kendali AS? Ataukah Oracle hanya sekadar menjadi “satpam” yang mengawasi kotak hitam yang kuncinya, secara esensial, masih dipegang oleh insinyur di Beijing?
Jika algoritma inti tetap dikendalikan dari jarak jauh, maka divestasi ini bisa jadi hanyalah “gimmick geopolitik”—sebuah manuver untuk meredakan tekanan politik tanpa perubahan substansial dalam kontrol operasional. Namun, jika algoritma sepenuhnya berpindah ke server Oracle dan di bawah pengawasan AS, risiko barunya adalah manipulasi domestik. Dengan Trump yang secara terbuka mengakui peran TikTok dalam kemenangan pemilunya, godaan untuk menggunakan platform ini sebagai alat propaganda politik sangatlah besar, mengarah pada potensi penyalahgunaan yang merusak netralitas dan objektivitas media sosial.
Benteng Terakhir Moderasi: Akankah Tetap Bertahan?
Benteng terakhir pertahanan netralitas TikTok ada pada tim Trust and Safety—para profesional yang bertugas memoderasi konten, menegakkan pedoman komunitas, dan melindungi pengguna dari ujaran kebencian atau disinformasi. Leerssen menyebut adanya “logika profesional” di kalangan pekerja ini, yang bisa menjadi penyeimbang terhadap tekanan politik atau keinginan pemilik. Namun, sejarah, terutama di platform X, menunjukkan betapa rapuhnya posisi mereka ketika pemilik baru memutuskan untuk merombak total kebijakan moderasi, sering kali dengan konsekuensi yang merugikan bagi integritas platform.
Dengan tenggat waktu penutupan transaksi pada 22 Januari 2026, publik Amerika dan dunia kini menanti dengan cemas. Apakah TikTok akan tetap menjadi panggung kreativitas yang bebas, ruang di mana ide-ide beragam dapat berkembang tanpa sensor atau bias yang disengaja? Ataukah ia akan bermetamorfosis menjadi Fox News versi algoritma—sebuah alat politik yang dikemas dalam video joget 15 detik, dikendalikan oleh oligarki, dan direstui oleh penguasa? Masa depan TikTok sebagai platform global yang netral kini dipertaruhkan, dengan implikasi besar bagi kebebasan informasi dan demokrasi di era digital.
Apple Technos Berita Apple Terbaru, Rumor & Update Resmi