WASHINGTON – Di tengah hiruk-pikuk isu keamanan nasional dan perang dagang teknologi antara Amerika Serikat dan Tiongkok, platform media sosial raksasa TikTok kini menemukan dirinya terperangkap dalam pusaran yang jauh lebih kompleks dan sensitif. Alih-alih murni menjadi aset AS, kepemilikan TikTok dikabarkan telah bergeser ke arah yang memicu kekhawatiran global: di bawah bayang-bayang ambisi Zionis melalui sosok miliarder teknologi berpengaruh, Larry Ellison, pemilik Oracle.
Kesepakatan restrukturisasi kepemilikan ini, yang kabarnya mulai terbentuk di penghujung pemerintahan Joe Biden dan berlanjut hingga era transisi potensial ke Donald Trump, bukan lagi sekadar narasi tentang data warga AS yang perlu diselamatkan. Ini adalah pertarungan untuk menguasai “senjata” terkuat dalam perang opini dan narasi global di era digital saat ini. Di balik klaim perlindungan data, muncul struktur kepemilikan baru yang membuat para aktivis kemanusiaan dan pengamat demokrasi menahan napas, mempertanyakan masa depan kebebasan berekspresi di salah satu platform paling dominan di dunia.
Pergeseran Kekuasaan: Oracle Menguasai Algoritma TikTok
Struktur kepemilikan baru TikTok menyingkap realitas yang mencemaskan. Sebuah konsorsium yang dipimpin oleh Oracle—perusahaan perangkat lunak yang didirikan dan dimiliki oleh Larry Ellison—bersama dengan Silver Lake dan MGX, kini memegang kendali mayoritas. Konsorsium ini menguasai 80,1 persen saham entitas baru bernama TikTok USDS Joint Venture LLC. Sementara itu, ByteDance, induk perusahaan TikTok dari Tiongkok, terpaksa puas dengan kepemilikan minoritas yang signifikan, yaitu sebesar 19,9 persen.
Pergeseran ini menandai perubahan radikal dari narasi awal yang fokus pada divestasi total TikTok dari ByteDance demi alasan keamanan data AS. Kini, perhatian beralih kepada pihak-pihak yang sebenarnya memegang kendali operasional dan, yang lebih penting, algoritma inti platform. Oracle tidak hanya menjadi investor, tetapi juga pengendali infrastruktur data dan keamanan TikTok AS, memberikan mereka akses dan pengaruh yang belum pernah ada sebelumnya terhadap cara konten diatur, disebarkan, dan dikonsumsi oleh jutaan pengguna.
Larry Ellison: Oligarki di Balik Kendali Data dan Visi Pengawasan Total
Sorotan utama dalam mega-akuisisi ini tertuju pada sosok Larry Ellison, pria berusia 81 tahun yang dikenal sebagai salah satu individu terkaya di dunia, dengan kekayaan yang sempat melambung berkat ledakan permintaan kecerdasan buatan (AI) pada Oracle. Ellison bukanlah figur yang netral dalam lanskap politik atau teknologi. Ia dikenal memiliki visi dunia yang sangat terawasi, di mana data menjadi pusat kendali. Dalam sebuah pertemuan dengan investor di masa lalu, Ellison pernah secara terbuka menyampaikan fantasinya tentang masyarakat yang selalu berada di bawah pengawasan, dengan Oracle sebagai tulang punggung datanya.
“Polisi akan berperilaku baik karena kami terus mengawasi dan merekam semuanya. Warga akan berperilaku baik karena kami terus merekam dan melaporkan semuanya,” ujarnya, menggambarkan visi pengawasan totaliter yang kini berpotensi bertemu dengan platform yang digandrungi oleh lebih dari 170 juta warga Amerika dan miliaran lainnya di seluruh dunia. Pertemuan antara filosofi pengawasan Ellison dan jangkauan global TikTok memunculkan pertanyaan mendalam tentang privasi, kebebasan berekspresi, dan potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Namun, yang lebih meresahkan daripada ambisi teknologinya adalah afiliasi politiknya yang kuat. Ellison adalah donatur besar bagi Friends of the Israel Defense Forces (FIDF), sebuah organisasi yang secara aktif menyokong militer Israel. Kedekatan Ellison dengan Israel dan figur-figur politiknya dipertegas oleh fakta bahwa ia juga merupakan saksi kunci dalam sidang korupsi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Hubungan ini melampaui sekadar pertemanan bisnis; mereka adalah sekutu strategis yang memiliki kesamaan visi dan kepentingan.
Jaringan Ellison dan Netanyahu: Lebih dari Sekadar Pertemanan
Hubungan antara Ellison dan Benjamin Netanyahu bukan sekadar kenalan biasa; ini adalah aliansi strategis yang terjalin erat. Kedekatan ini terbukti saat Netanyahu dan keluarganya berlibur di Lanai, sebuah pulau di Hawaii yang 98 persen wilayahnya dimiliki oleh Ellison. Meskipun Netanyahu bersikeras bahwa ia membayar biaya liburan tersebut, fakta bahwa seorang kepala negara menginap di properti pribadi miliarder yang juga menjadi saksi dalam kasus hukumnya sendiri, menimbulkan tanda tanya besar mengenai etika politik dan potensi konflik kepentingan.
Kini, sekutu dekat Netanyahu tersebut memegang kunci vital, yaitu kendali atas algoritma TikTok. Wakil CEO Oracle Israel bahkan pernah secara terang-terangan menegaskan posisi ideologis perusahaannya: “Amerika Serikat yang pertama, negara kedua adalah Israel, dan setelah itu seluruh dunia.” Pernyataan ini semakin menebalkan kekhawatiran akan adanya bias politik yang sistematis dalam operasional TikTok di bawah kendali Oracle, terutama mengingat sensitivitas isu Israel-Palestina di panggung global.
TikTok sebagai “Senjata” dalam Perang Narasi Global
Kekhawatiran publik akan potensi “Islamisasi” TikTok tidak muncul tanpa dasar. Benjamin Netanyahu sendiri secara eksplisit mengakui bahwa media sosial adalah medan tempur krusial yang harus dikuasai. Di tengah isolasi internasional yang semakin meningkat akibat operasi militer Israel di Gaza, yang telah menyebabkan puluhan ribu korban jiwa—mayoritas wanita dan anak-anak—Netanyahu sangat membutuhkan alat untuk membalikkan opini publik, terutama di Amerika Serikat yang merupakan sekutu terbesarnya.
Dalam pertemuan dengan para influencer di New York baru-baru ini, Netanyahu dengan lugas menyebut media sosial sebagai “senjata” strategis untuk mengamankan basis dukungan Israel. Ia secara spesifik menunjuk TikTok sebagai “pembelian paling penting yang sedang terjadi saat ini,” menyoroti potensi dampak “konsekuensial” yang dapat diberikan oleh penguasaan platform ini terhadap kelangsungan narasi Israel. “Jika kita bisa mengamankan pengaruh atas media sosial, kita akan mendapatkan banyak hal,” ujarnya, menggarisbawahi urgensi kontrol narasi di era digital.
Ancaman “Islamisasi Algoritma” dan Pembungkaman Suara Palestina
Dengan kendali algoritma yang kini berada di tangan Oracle, risiko manipulasi konten menjadi ancaman yang nyata dan mendesak. Fenomena yang disebut sebagai “Islamisasi Algoritma” TikTok ini memicu ketakutan bahwa konten-konten yang menyuarakan penderitaan rakyat Palestina, mengkritik kebijakan militer Israel, atau menyoroti isu-isu hak asasi manusia di wilayah tersebut, akan secara sistematis ditekan (suppressed) atau disensor oleh sistem. Sebaliknya, narasi-narasi pro-Zionis atau yang mendukung posisi Israel berpotensi untuk diamplifikasi dan disebarkan secara lebih luas.
Selama konflik Gaza, TikTok telah menjadi salah satu platform utama di mana realitas kekejaman perang terekspos secara langsung dan tanpa filter media massa konvensional. Penguasaan Ellison atas TikTok berpotensi mengubah lanskap ini secara drastis, mengancam kemampuan warga untuk mengakses informasi yang beragam dan menyampaikan pandangan yang berbeda. Algoritma yang seharusnya netral kini berada di bawah pengawasan perusahaan yang pendirinya menyumbang jutaan dolar untuk militer yang sedang disorot dunia karena dugaan kejahatan perang.
Bagi prinsip demokrasi dan kebebasan berekspresi, ini adalah preseden yang sangat buruk. Ketika platform publik yang menjadi wadah jutaan suara dikuasai oleh oligarki dengan agenda politik spesifik yang terafiliasi dengan negara asing, kebebasan berekspresi, akses terhadap informasi yang tidak bias, dan pluralisme pandangan menjadi taruhannya. Di tangan Ellison, dan di bawah bayang-bayang Netanyahu, TikTok berisiko berubah dari ruang kreativitas dan ekspresi menjadi alat propaganda canggih yang menyetir persepsi dunia sesuai keinginan Tel Aviv, mengikis kepercayaan publik pada netralitas platform digital dan memperdalam polarisasi global. Masa depan kebebasan bersuara di dunia maya kini menghadapi ujian yang semakin berat.
Apple Technos Berita Apple Terbaru, Rumor & Update Resmi