Upaya ambisius manusia untuk menaklukkan planet lain, termasuk visi futuristik miliarder Elon Musk untuk mendirikan koloni di Mars, kini dihadapkan pada sebuah penemuan ilmiah yang mengubah paradigma. Para ilmuwan baru-baru ini mengklaim telah mengidentifikasi potensi sumber ‘makanan’ yang sangat mungkin mendukung kehidupan di luar Bumi, namun ironisnya, sumber energi ini dapat mematikan bagi manusia. Penemuan ini bukan hanya sekadar wacana, melainkan membuka lembaran baru dalam pencarian kehidupan ekstraterestrial, menunjukkan bahwa keberadaan alien mungkin jauh lebih umum dan tak terduga daripada yang selama ini kita bayangkan.
Paradigma Baru dalam Pencarian Kehidupan
Selama berabad-abad, pencarian kehidupan di alam semesta selalu didasarkan pada asumsi kondisi mirip Bumi: planet yang memiliki air cair, atmosfer, dan menerima cukup sinar matahari. Namun, penelitian terbaru menantang pandangan konvensional ini. Para peneliti, yang dipimpin oleh Dr. Dimitra Atri, mengemukakan bahwa tidak semua bentuk kehidupan memerlukan prasyarat yang serupa dengan Bumi untuk bertahan hidup. Sebaliknya, kehidupan di dunia lain mungkin bergantung pada sumber energi yang sama sekali berbeda, seperti radiasi kosmik intensitas tinggi—sebuah fenomena yang secara umum dianggap berbahaya bagi organisme berbasis karbon seperti manusia.
Studi inovatif ini mengidentifikasi gugusan partikel berenergi tinggi, yang dikenal sebagai sinar kosmik galaksi, sebagai kandidat utama yang berpotensi menopang kehidupan di dunia lain. Sinar-sinar kosmik ini, yang menghantam permukaan atau sub-permukaan planet, mampu memancarkan radiasi yang memicu reaksi kimia fundamental melalui proses yang disebut radiolisis. Radiolisis adalah pemecahan molekul air (H₂O) menjadi produk sampingan reaktif seperti hidrogen (H₂), oksigen (O₂), dan radikal bebas. Produk-produk sampingan ini kemudian dapat berfungsi sebagai ‘bahan bakar’ kimia esensial, menyediakan energi yang diperlukan untuk metabolisme dan kelangsungan hidup organisme di lingkungan yang gelap dan dingin.
“Penemuan ini mengubah cara kita berpikir tentang lokasi yang mungkin mendukung kehidupan,” jelas Dr. Atri. “Alih-alih hanya mencari planet yang hangat dan menerima sinar matahari, kita sekarang dapat mempertimbangkan tempat-tempat yang gelap dan dingin, selama tempat tersebut memiliki air di bawah permukaan dan terpapar sinar kosmik.” Perspektif ini secara drastis memperluas jumlah lokasi potensial yang dapat dihuni di alam semesta, jauh melampaui imajinasi sebelumnya.
Mekanisme Kehidupan dari Sinar Kosmik
Untuk memahami bagaimana sinar kosmik dapat mendukung kehidupan, para peneliti melakukan simulasi kompleks. Mereka memodelkan bagaimana sinar kosmik berinteraksi dengan molekul air pada berbagai kedalaman di bawah permukaan planet. Tujuan utama simulasi ini adalah untuk menilai berapa banyak sel teoretis yang dapat didukung oleh lingkungan tersebut melalui radiolisis. Fokus utama mereka adalah produksi elektron—komponen kunci dalam transfer energi dan produksi ATP (adenosine triphosphate), yang merupakan mata uang energi universal bagi hampir semua organisme hidup.
Hasil simulasi ini kemudian dibandingkan dengan pengetahuan yang ada tentang ekstremofil, yaitu organisme di Bumi yang dikenal mampu bertahan hidup dan bahkan berkembang biak dalam kondisi lingkungan yang paling ekstrem dan tidak ramah. Salah satu contoh paling mencolok adalah bakteri *Candidatus Desulforudis audaxviator*, yang ditemukan jauh di bawah tanah di tambang emas Afrika Selatan. Bakteri unik ini memperoleh energinya bukan dari fotosintesis atau bahan kimia organik biasa, melainkan dari peluruhan radioaktif uranium di sekitarnya. Ini adalah bukti nyata bahwa kehidupan dapat mengeksploitasi sumber energi yang sama sekali berbeda dan seringkali mematikan bagi organisme lain.
Para ekstremofil, khususnya yang tahan radiasi, seringkali bersembunyi jauh di bawah permukaan tanah atau es untuk menghindari paparan langsung radiasi yang berlebihan. Hal ini sejalan dengan hipotesis bahwa kehidupan alien yang bergantung pada radiolisis mungkin juga bersembunyi di bawah permukaan bulan atau planet yang jauh, terlindungi dari kondisi keras di permukaan sambil tetap mendapatkan ‘makanan’ dari sinar kosmik yang menembus lapisan es atau batuan.
Implikasi bagi Kolonisasi Manusia
Meskipun penemuan ini membuka peluang menarik bagi astrobiologi, implikasinya tidak sepenuhnya positif untuk ambisi kolonisasi manusia. Jika memang kehidupan alien, khususnya mikroorganisme, dapat berkembang biak dengan ‘memakan’ radiasi intensitas tinggi, maka lingkungan tersebut secara inheren akan sangat berbahaya bagi manusia. Radiasi ionisasi yang diperlukan untuk radiolisis akan menyebabkan kerusakan DNA, mutasi sel, dan berbagai penyakit radiasi pada manusia, menjadikannya lingkungan yang tidak dapat ditinggali tanpa perlindungan ekstrem yang belum pernah ada sebelumnya.
Ini menimbulkan dilema signifikan bagi proyek-proyek seperti Mars One atau rencana Elon Musk untuk terraforming Mars. Jika Mars, atau bulan-bulan es seperti Enceladus dan Europa, ternyata dihuni oleh kehidupan ekstremofil yang berbasis radiasi, maka upaya untuk menjadikannya layak huni bagi manusia akan berbenturan langsung dengan ekosistem alien tersebut, atau bahkan terhalang oleh kondisi yang secara fundamental tidak kompatibel dengan biologi manusia.
Calon Planet “Berpenghuni” yang Mengejutkan
Dalam penelitian yang diterbitkan di *International Journal of Astrobiology*, para peneliti mengidentifikasi beberapa kandidat utama yang memiliki potensi tertinggi untuk mendukung kehidupan berbasis radiolisis. Secara mengejutkan, bulan Saturnus, Enceladus, menempati posisi teratas. Diperkirakan, Enceladus mampu mendukung hingga 42.900 sel per sentimeter kubik pada kedalaman sekitar 60 sentimeter di bawah permukaan esnya. Ini menjadikannya target utama yang sangat menarik untuk misi pencarian kehidupan di masa depan.
Mars, yang menjadi fokus utama ambisi kolonisasi manusia, diperkirakan mampu mendukung sekitar 11.600 sel pada kedalaman sedikit lebih dari setengah meter. Sementara itu, Europa, salah satu bulan Jupiter yang juga diduga memiliki samudra bawah permukaan, diperkirakan dapat menopang sekitar 4.200 sel pada kedalaman satu meter. Namun, para ilmuwan menekankan bahwa bentuk kehidupan ini kemungkinan besar adalah bentuk kehidupan paling awal dan sederhana, seperti mikroorganisme, bukan makhluk kompleks seperti manusia atau hewan. Ini berarti kita tidak akan menemukan ‘alien hijau’ yang memakan radiasi, melainkan kemungkinan besar komunitas bakteri atau archaea yang sangat tangguh.
Radiolisis: Dari Ancaman Menjadi Sumber Kehidupan
Dr. Atri menegaskan kembali bahwa radiolisis bukanlah sekadar proses yang merusak. “Kami menekankan bahwa radiolisis tidak hanya merusak, tetapi juga dapat membantu menghasilkan bahan kimia penting dan memfasilitasi transfer elektron yang dibutuhkan untuk aktivitas metabolisme,” ujarnya. Pernyataan ini memberikan perspektif yang lebih luas tentang bagaimana kehidupan dapat muncul dan bertahan di lingkungan yang selama ini dianggap tidak ramah atau bahkan mematikan.
Proses radiolisis dapat memicu serangkaian reaksi kimia yang kompleks, menghasilkan senyawa organik sederhana yang menjadi blok bangunan kehidupan, atau memfasilitasi reaksi redoks yang penting untuk jalur metabolisme. Ini berarti bahwa radiasi, alih-alih menjadi penghalang kehidupan, justru bisa menjadi pemicu dan penopang utamanya di lingkungan tertentu, terutama di dunia-dunia tanpa aktivitas geologis atau sumber energi termal yang signifikan.
Seruan untuk Misi Luar Angkasa Masa Depan
Dengan temuan-temuan ini, Dr. Atri juga mendesak agar misi luar angkasa di masa depan mengubah fokusnya. Alih-alih hanya mencari kondisi permukaan yang mirip Bumi, misi harus lebih mengarahkan perhatian pada area bawah permukaan yang dangkal di Mars, Europa, dan Enceladus. Selain itu, pesawat ruang angkasa di masa depan perlu dilengkapi dengan instrumen yang lebih canggih untuk mendeteksi ‘biosignatur’—tanda-tanda molekuler atau isotopik yang menunjukkan keberadaan kehidupan—yang mungkin sangat berbeda dari apa yang kita kenal di Bumi.
Penelitian ini secara fundamental mengubah cara kita memandang kemungkinan kehidupan di alam semesta. Ini membuka pintu bagi eksistensi kehidupan di dunia-dunia yang gelap, dingin, dan diliputi radiasi, menantang asumsi kita tentang apa yang ‘layak huni’. Sementara Elon Musk terus memimpikan koloni manusia di Mars, penemuan terbaru ini mengingatkan kita bahwa jika memang ada kehidupan di sana, lingkungan tersebut mungkin lebih ramah bagi mikroorganisme ekstrem yang tahan radiasi daripada bagi manusia, dan pergeseran fokus eksplorasi mungkin diperlukan untuk akhirnya mengungkap misteri kehidupan di luar Bumi.
Apple Technos Berita Apple Terbaru, Rumor & Update Resmi