Di Tengah Riuhnya Jagat Digital: Dari Joget ke Ilmu Pengetahuan
Lanskap media sosial modern seringkali diidentikkan dengan hiruk-pikuk konten yang serba cepat, mulai dari tarian viral, tantangan sesaat, hingga pamer kekayaan artifisial. Di platform seperti TikTok, yang reputasinya kerap diasosiasikan dengan konten hiburan ringan, muncul sebuah narasi baru yang menyegarkan. Inisiatif ambisius dari kolaborasi antara ASEAN Foundation dan TikTok LIVE, melalui program ‘ASEAN LIVE Creators for Change 2025’, kini membuktikan bahwa platform video pendek ini jauh lebih dari sekadar arena joget. Ia adalah panggung raksasa untuk pendidikan, pelestarian budaya, dan pemberdayaan ekonomi di seluruh Asia Tenggara.
Program ini hadir sebagai jawaban atas kejenuhan publik terhadap banalitas digital. Alih-alih membiarkan algoritma menguasai atensi dengan konten instan, inisiatif ini bertekad membuktikan bahwa TikTok bisa menjadi ‘ruang kelas global’ dan ‘museum hidup’ bagi jutaan mata di kawasan ini. Chanida Klyphun, Director of Public Policy for Southeast Asia TikTok, menegaskan bahwa misi utama program ini adalah menghadirkan “kegembiraan dan kreativitas”. Namun, di balik narasi tersebut, tersimpan strategi cerdas platform untuk mendiversifikasi ekosistem kontennya, menciptakan lingkungan yang lebih “aman” bagi pengiklan, dan memenuhi ekspektasi regulator akan konten yang lebih berkualitas dan bertanggung jawab.
Menjaring Bintang: Program ASEAN LIVE Creators for Change 2025
Kompetisi yang berlangsung sepanjang tahun 2024 hingga 2025 ini berhasil menjaring 20 kreator muda berbakat dari berbagai negara anggota ASEAN. Mereka tidak sekadar dilepas ke belantara digital tanpa arah. Sebaliknya, para kreator ini dibekali dengan mentorship intensif, dukungan finansial, serta perangkat keras mumpuni, memastikan mereka memiliki semua yang dibutuhkan untuk menghasilkan konten live streaming berkualitas tinggi. Tujuannya sangat jelas: mendorong kreasi konten yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan dampak nyata dalam tiga pilar utama: edukasi, kewirausahaan, dan pelestarian budaya.
Dari puluhan talenta yang berpartisipasi, seleksi ketat akhirnya mengkristal menjadi tiga nama yang paling menonjol dan berhasil “meretas” atensi publik dengan substansi mendalam. Mereka adalah Jhonatan Yuditya Pratama (@jhonatanyuditya_pratama), Leni Rezi (@lenirezi), dan Firdaus alias Sir Pedot (@sirpedot). Ketiganya membuktikan bahwa dengan pendekatan yang tepat, kreativitas dapat diwujudkan dalam bentuk yang memberikan nilai tambah signifikan, mengubah persepsi umum tentang apa yang bisa dicapai di TikTok.
Jhonatan: Menggali Eksotisme Borneo yang Memikat Hati
Sebagai pemenang pertama, Jhonatan Yuditya Pratama, pemuda berdarah Borneo, memilih jalan yang berbeda dari kebanyakan kreator. Ia tidak mengandalkan sensasi atau drama instan; ia menjual identitas dan warisan budaya. Jhonatan berhasil mematahkan stigma bahwa budaya tradisional itu kaku, kuno, dan membosankan. Melalui sesi LIVE bertajuk “Gawai Dayak”, ia sukses menyedot lebih dari 16.000 penonton. Angka ini mungkin belum sebanding dengan viralitas konten yang serba instan, namun ini adalah pencapaian luar biasa untuk konten budaya yang niche, menunjukkan potensi besar untuk menarik audiens yang loyal dan terlibat.
Pendekatan Jhonatan sangat segar. Ia menyajikan parade dan tari tradisional bukan sebagai artefak museum yang beku, melainkan sebagai organisme hidup yang dinamis dan relevan. “Program ini adalah pengingat bahwa kreativitas bukan sekadar hiburan, tetapi sarana pemberdayaan,” ujar Jhonatan. Ia tidak hanya mendokumentasikan, tetapi juga menghidupkan kembali keindahan tradisi, menjadikannya menarik bagi generasi muda dan audiens global, sekaligus memupuk kebanggaan lokal terhadap identitas budaya yang kaya.
Leni: Menyelamatkan Bahasa Ibu dari Ancaman Kepunahan Digital
Di posisi kedua, Leni Rezi mengangkat isu yang tak kalah krusial: kepunahan bahasa ibu. Terinspirasi oleh data UNESCO yang mengkhawatirkan tentang penurunan jumlah penutur bahasa daerah di seluruh dunia, Leni menjadikan TikTok sebagai laboratorium eksperimen untuk pelestarian bahasa. Strateginya brilian: ia memanfaatkan fitur Multi-Guest untuk menciptakan ruang dialektika interaktif, di mana pengguna dapat berinteraksi langsung dalam bahasa daerah. Bahasa Belitong, yang sebelumnya nyaris senyap di ranah digital, kini kembali riuh dalam percakapan yang hidup.
Leni sangat menyadari bahwa tanpa adaptasi terhadap budaya pop kontemporer, bahasa daerah berisiko tinggi hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah. Dengan membawa bahasa Belitong ke platform yang digemari generasi muda, ia tidak hanya melestarikan, tetapi juga merevitalisasi penggunaannya, membuktikan bahwa teknologi dapat menjadi sekutu dalam menjaga warisan linguistik. Upayanya adalah jembatan penting antara tradisi dan inovasi, memastikan bahasa lokal tetap relevan dan diminati.
Sir Pedot: Jembatan Ilmu Pengetahuan di Luar Batas Kelas Konvensional
Sementara itu, Sir Pedot (Firdaus) dari Malaysia, sang pemenang ketiga, berfokus mengisi kekosongan yang seringkali ditinggalkan oleh institusi pendidikan formal. Ia membahas beragam topik penting mulai dari tips beasiswa, literasi digital, hingga keterampilan public speaking. “Membawakan sesi LIVE butuh keberanian,” aku Firdaus. Namun, ia tidak gentar. Testimoni dari siswa yang akhirnya memahami materi sekolah berkat sesi LIVE TikTok-nya adalah sebuah tamparan keras bagi sistem pendidikan konvensional yang seringkali terkesan kaku dan membosankan.
Sir Pedot menunjukkan bahwa pendidikan tidak harus terbatas pada empat dinding kelas. Platform digital menawarkan fleksibilitas dan aksesibilitas yang luar biasa, memungkinkan pembelajaran terjadi di mana saja dan kapan saja, dengan gaya yang lebih engaging dan interaktif. Ia menjadi bukti bahwa kreator individu mampu menjadi suplemen berharga bagi sistem pendidikan formal, menyediakan sumber daya yang relevan dan mudah diakses bagi jutaan pelajar di Asia Tenggara.
Membangun Ekosistem Konten Berkelanjutan dan Inklusif
Dr. Piti Srisangnam, Executive Director ASEAN Foundation, mengungkapkan harapannya bahwa kolaborasi semacam ini akan terus mendorong inklusivitas di ranah digital. Dari perspektif bisnis, mendukung dan memberdayakan kreator yang berfokus pada konten edukatif dan budaya adalah investasi jangka panjang yang sangat strategis. Konten jenis ini memiliki tingkat retensi audiens yang jauh lebih loyal dan menawarkan tingkat “brand safety” yang tinggi – sebuah faktor krusial bagi merek-merek premium yang enggan mengiklankan produk mereka pada konten yang kurang berkualitas atau kontroversial.
Keberhasilan Jhonatan, Leni, dan Sir Pedot adalah manifestasi nyata dari pergeseran paradigma di TikTok. Ini bukan lagi hanya tentang hiburan instan, tetapi tentang pemberdayaan, pembelajaran, dan pelestarian. Mereka adalah pionir yang menunjukkan bahwa dengan visi yang jelas dan dukungan yang tepat, platform digital dapat menjadi kekuatan transformatif untuk kebaikan sosial dan budaya, menciptakan ekosistem konten yang lebih kaya, beragam, dan berarti bagi semua penggunanya.
Apple Technos Memberikan informasi terkini khususnya teknologi dan produk apple