Planet Bumi, rumah bagi miliaran spesies dan peradaban manusia, mungkin sedang menuju sebuah skenario kepunahan massal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bukan hanya satu, melainkan tiga ancaman besar yang diperkirakan akan menyapu bersih sebagian besar kehidupan, terutama mamalia, dalam rentang waktu geologis yang sangat jauh – sekitar 250 juta tahun dari sekarang. Namun, para ilmuwan memperingatkan, garis waktu ini bisa dipercepat secara drastis jika umat manusia gagal mengatasi krisis iklim yang terjadi saat ini.
Prediksi mencengangkan ini datang dari sebuah eksperimen simulasi kompleks yang dijalankan oleh superkomputer, yang dipimpin oleh para ahli dari Universitas Bristol dan diterbitkan dalam jurnal bergengsi *Nature Geoscience*. Temuan ini melukiskan gambaran suram tentang masa depan planet kita, di mana kombinasi faktor geologis dan iklim akan mencapai ‘titik kritis’ yang membuat Bumi nyaris tidak layak huni.
Menyingkap Ramalan Superkomputer: Bagaimana Bumi Menjadi Tak Layak Huni?
Penelitian ini bukanlah sekadar spekulasi, melainkan hasil dari pemodelan iklim canggih yang mempertimbangkan berbagai variabel geofisika dan bio-kimia. Superkomputer menganalisis bagaimana formasi superkontinen di masa depan dapat memengaruhi atmosfer, suhu, dan siklus karbon dioksida global. Hasilnya menunjukkan bahwa proses tektonik-geografis yang kompleks, dikombinasikan dengan perubahan iklim ekstrem, akan menciptakan kondisi yang tak tertahankan bagi sebagian besar kehidupan di Bumi.
Intinya, ramalan ini menunjukkan bahwa dalam waktu sekitar seperempat miliar tahun, Bumi akan menjadi ‘superkontinen’ raksasa, mengubah pola cuaca dan geologi secara fundamental. Perubahan ini akan memicu serangkaian peristiwa bencana yang secara kolektif disebut sebagai kepunahan ‘tiga kali lipat’ atau ‘ganda’ dalam beberapa interpretasi, yang secara efektif akan mengakhiri era mamalia di Bumi.
Tiga Pilar Kepunahan yang Mengancam
Menurut studi tersebut, ada tiga elemen utama yang akan berkolaborasi untuk menciptakan skenario kepunahan massal ini:
1. Suhu Ekstrem yang Mematikan
Salah satu ancaman paling dominan adalah kenaikan suhu harian global yang mencapai level ekstrem, diperkirakan antara 40 hingga 50 derajat Celcius. Suhu setinggi ini, terutama jika berlangsung secara konsisten di sebagian besar permukaan daratan, akan melampaui batas toleransi fisiologis sebagian besar mamalia, termasuk manusia. Kondisi panas yang tak tertahankan ini akan menyebabkan stres termal yang parah, dehidrasi, dan kegagalan organ, membuat kelangsungan hidup menjadi hampir mustahil di banyak wilayah.
2. Angin Dingin Mencekam dan Fluktuasi Suhu Dramatis
Paradoksnya, di tengah kondisi panas ekstrem, studi juga mengisyaratkan ancaman terkait suhu dingin. Meskipun frasa ‘nekrosis iskemik’ digunakan dalam konteks ini dalam beberapa laporan awal, esensinya adalah tentang fluktuasi suhu yang sangat ekstrem dan kondisi lingkungan yang merusak. Ketika suhu di planet ini turun di bawah 10 derajat Celcius dalam skenario tertentu yang tidak stabil, angin dingin yang sangat kuat dan mematikan diperkirakan akan melanda, berpotensi menghancurkan kehidupan mamalia dan hewan lainnya. Ketidakstabilan iklim yang ekstrem ini, dari panas membakar hingga dingin membekukan, akan menjadi pukulan ganda bagi adaptasi biologis.
3. Letusan Vulkanik dan Karbon Dioksida Berlebih
Ancaman ketiga dalam ‘tiga bencana besar’ ini adalah peningkatan kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer secara drastis. Peningkatan ini diperkirakan bukan hanya dari aktivitas manusia (yang relevan untuk krisis saat ini), tetapi juga dari peningkatan aktivitas geologis di masa depan yang jauh, seperti letusan gunung berapi yang masif. Peningkatan CO2 ini, dikombinasikan dengan efek kontinensitas yang diperparah oleh pembentukan superkontinen, akan memicu efek rumah kaca yang intens, semakin menaikkan suhu global dan mengasamkan lautan, menghancurkan ekosistem secara berjenjang.
Peran Superkontinen dan Dinamika Geologis
Bagian krusial dari prediksi ini adalah pembentukan superkontinen. Saat lempeng tektonik Bumi terus bergerak, diperkirakan seluruh daratan akan menyatu menjadi satu benua raksasa. Proses ini tidak hanya mengubah geografi, tetapi juga memengaruhi sirkulasi laut dan atmosfer global. Dengan daratan yang sangat luas jauh dari pengaruh laut, ‘efek kontinensitas’ akan meningkat – artinya, daerah pedalaman akan mengalami fluktuasi suhu yang jauh lebih ekstrem antara siang dan malam, serta antara musim panas dan musim dingin. Selain itu, dinamika tektonik ini juga dapat memicu peningkatan letusan gunung berapi yang akan melepaskan lebih banyak gas rumah kaca ke atmosfer.
Bukan Sekadar Prediksi Jauh: Relevansi dengan Krisis Iklim Saat Ini
Dr. Eunice Lo, salah satu penulis studi dan Peneliti Bidang Perubahan Iklim dan Kesehatan di Universitas Bristol, menekankan pentingnya tidak melupakan krisis iklim yang kita hadapi saat ini. “Sangat penting untuk tidak melupakan krisis iklim yang kita hadapi saat ini, yang merupakan akibat dari emisi gas rumah kaca yang dihasilkan manusia,” ujarnya. Ia mengingatkan bahwa meskipun peristiwa kepunahan ‘tiga kali lipat’ ini diproyeksikan terjadi dalam 250 juta tahun, Bumi sudah merasakan efek panas ekstrem akibat emisi manusia.
“Saat kita memprediksi planet ini tidak layak huni dalam 250 juta tahun, saat ini kita sudah mengalami panas ekstrem yang membahayakan kesehatan manusia. Inilah mengapa sangat penting untuk mencapai emisi nol bersih sesegera mungkin,” tambah Dr. Lo. Pernyataannya menggarisbawahi bahwa meskipun skala waktu geologis untuk kepunahan masa depan ini sangat panjang, mekanisme pendorongnya – seperti kenaikan suhu global – sudah mulai beraksi akibat ulah manusia. Ini adalah peringatan keras bahwa tindakan mitigasi iklim saat ini sangat krusial untuk mencegah percepatan menuju skenario yang lebih buruk di masa depan.
Implikasi dan Peringatan untuk Umat Manusia
Studi ini berfungsi sebagai pengingat akan kerapuhan dan dinamika planet kita. Meskipun kepunahan massal yang diprediksi ini masih jutaan tahun lagi, penelitian ini menyoroti bagaimana interaksi antara geologi, iklim, dan kehidupan dapat membawa Bumi ke ambang kehancuran. Bagi umat manusia, pelajaran terpenting adalah urgensi untuk mengatasi krisis iklim yang sedang berlangsung. Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan manusia saat ini sudah memicu perubahan yang dapat mempercepat skenario masa depan yang mengerikan ini.
Menjaga kelayakan huni Bumi adalah tanggung jawab kolektif. Dengan bergerak menuju emisi nol bersih dan mengadopsi praktik yang berkelanjutan, kita dapat memperpanjang masa kehidupan di planet ini, setidaknya untuk generasi-generasi mendatang, dan menunda dampak terburuk dari perubahan iklim yang dipicu oleh aktivitas kita sendiri. Prediksi superkomputer ini mungkin terdengar seperti fiksi ilmiah, tetapi dasarnya adalah sains yang kokoh, memberikan peringatan yang jelas dan gamblang tentang apa yang bisa terjadi jika kita abai terhadap kesehatan planet ini.
Apple Technos Memberikan informasi terkini khususnya teknologi dan produk apple