Di tengah gejolak global yang terus meningkat, dari konflik bersenjata hingga ketimpangan sosial dan ekonomi, seruan untuk perdamaian menjadi lebih mendesak dari sebelumnya. Dalam konteks inilah, suara Indonesia kembali menggema di kancah internasional melalui forum Daring Peace – International Meeting for Peace 2025 di Roma, Italia. Tiga tokoh terkemuka Indonesia – Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, dan Ketua Umum KADIN Indonesia Arsjad Rasjid – hadir untuk menyuarakan perspektif unik yang saling melengkapi mengenai politik, spiritualitas, dan ekonomi sebagai pilar fundamental perdamaian dunia.
Kehadiran ketiga figur ini bukan hanya representasi individu, melainkan cerminan dari wajah Indonesia sebagai negara plural yang secara konsisten menjunjung tinggi nilai-nilai dialog, kemanusiaan, dan toleransi. Dari panggung Roma, mereka menyampaikan pesan mendalam yang menekankan bahwa perdamaian sejati melampaui sekadar ketiadaan perang; ia adalah hasil dari keberanian, keadilan, dan solidaritas yang tak tergoyahkan. Acara yang mempertemukan ribuan tokoh lintas agama dan budaya ini menjadi platform krusial bagi Indonesia untuk berbagi pengalaman dan visi dalam membangun masa depan yang lebih harmonis.
Kepeloporan Indonesia: Mengukuhkan Pluralisme dan Dialog di Kancah Internasional
Partisipasi aktif Indonesia dalam Daring Peace – International Meeting for Peace 2025 menegaskan komitmen bangsa ini terhadap perdamaian global. Dengan latar belakang sejarah yang kaya dalam merangkul keberagaman, Indonesia hadir dengan legitimasi moral yang kuat untuk berbicara tentang pentingnya dialog dan persatuan. Jusuf Kalla, Nasaruddin Umar, dan Arsjad Rasjid, masing-masing membawa dimensi yang berbeda namun esensial, membuktikan bahwa pendekatan komprehensif diperlukan untuk mengatasi akar permasalahan konflik. Mereka menunjukkan bahwa solusi perdamaian tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi, melainkan harus melibatkan dimensi politik, agama, dan ekonomi secara holistik.
Peran strategis Indonesia di forum ini juga merupakan perwujudan dari diplomasi damai yang selama ini diusung. Dengan Pancasila sebagai dasar negara yang mengedepankan persatuan dalam keberagaman, Indonesia telah menjadi model bagi banyak negara dalam mengelola harmoni sosial di tengah kemajemukan. Suara para tokoh ini di Roma tidak hanya sekadar partisipasi, melainkan upaya aktif untuk berkontribusi pada arsitektur perdamaian global, menawarkan pengalaman dan pelajaran berharga dari sebuah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang tetap menjunjung tinggi pluralisme.
Jusuf Kalla: Membangun Perdamaian Melampaui Gencatan Senjata
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia, Jusuf Kalla, yang dikenal luas sebagai mediator konflik ulung di berbagai wilayah seperti Aceh dan Poso, menyampaikan pandangannya yang mendalam tentang perdamaian. Baginya, perdamaian bukanlah pasifnya keadaan tanpa perang, melainkan sebuah tindakan aktif yang membutuhkan keberanian. “Perdamaian adalah keberanian untuk meletakkan senjata, baik fisik maupun ideologis, dan memilih keadilan serta kemanusiaan,” tegasnya di hadapan hadirin. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya melucuti tidak hanya senjata api, tetapi juga prasangka, kebencian, dan ideologi ekstrem yang kerap menjadi pemicu konflik.
Lebih lanjut, Jusuf Kalla menyoroti peran strategis rumah ibadah, khususnya masjid, sebagai pusat pembinaan moral dan sosial umat. Ia menekankan bahwa masjid harus berfungsi lebih dari sekadar tempat ritual ibadah semata. “Masjid tidak boleh hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga ruang sosial yang menumbuhkan keadaban dan solidaritas kemanusiaan,” ujarnya. Visi ini menunjukkan bagaimana institusi keagamaan dapat menjadi kekuatan pendorong untuk pendidikan, dialog, dan pemberdayaan komunitas, yang pada akhirnya berkontribusi pada pencegahan konflik dan pemeliharaan perdamaian di tingkat akar rumput.
Nasaruddin Umar: Agama sebagai Pilar Kerukunan, Bukan Sumber Konflik
Dari perspektif spiritual, Menteri Agama sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar, membawa pesan krusial mengenai bahaya politisasi agama. Ia dengan tegas menyatakan bahwa ancaman terbesar bagi perdamaian global bukanlah agama itu sendiri, melainkan penyalahgunaan atau instrumentalisasi agama untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Seringkali, dogma keagamaan disalahartikan atau dimanipulasi untuk memicu perpecahan dan konflik, padahal esensi dari hampir semua agama adalah ajaran tentang kedamaian, kasih sayang, dan toleransi.
Nasaruddin Umar menekankan kembali konsep Islam sebagai *rahmatan lil alamin*, yakni rahmat bagi seluruh alam semesta. Konsep ini mengajarkan tentang kasih sayang, keadilan, dan penghormatan terhadap kehidupan dalam segala bentuknya, tanpa memandang suku, ras, atau agama. Ia mengajak dunia untuk meneladani Indonesia sebagai “laboratorium kerukunan,” sebuah model di mana umat beragama hidup berdampingan secara harmonis, berinteraksi, dan saling menghormati. “Keberagaman Indonesia adalah warisan spiritual yang dapat dibagikan kepada dunia,” katanya, mengisyaratkan bahwa model kerukunan Indonesia bisa menjadi inspirasi untuk membangun masyarakat global yang lebih toleran dan damai.
Arsjad Rasjid: Keadilan Ekonomi sebagai Fondasi Perdamaian Abadi
Melengkapi dimensi politik dan spiritual, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Arsjad Rasjid, menyoroti aspek ekonomi dalam upaya menjaga perdamaian. Dalam sesi bertema “Economy and Solidarity,” ia dengan gamblang mengungkapkan bahwa ketimpangan ekonomi adalah salah satu sumber laten konflik yang paling berbahaya. Kemiskinan, kesenjangan pendapatan, dan akses yang tidak merata terhadap sumber daya dapat memicu frustrasi, ketidakpuasan, dan pada akhirnya, kerusuhan sosial serta konflik bersenjata. “Ekonomi tanpa kemanusiaan adalah bentuk konflik tersembunyi,” ujarnya, sebuah pernyataan yang menampar kesadaran bahwa pembangunan ekonomi harus selalu berlandaskan pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan.
Arsjad Rasjid menyerukan pentingnya membangun ekonomi berkeadaban, yaitu sistem ekonomi yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan materi, tetapi juga pada kesejahteraan sosial, pemberdayaan masyarakat, dan solidaritas. Ia menekankan peran dunia usaha untuk tidak hanya mencari profit, tetapi juga menjadi bagian integral dari solusi kemanusiaan dan perdamaian global. Melalui program-program pemberdayaan berbasis komunitas, investasi yang bertanggung jawab, dan praktik bisnis yang etis, sektor swasta memiliki kekuatan besar untuk mengurangi ketimpangan, menciptakan lapangan kerja, dan membangun fondasi stabilitas ekonomi yang krusial bagi perdamaian yang berkelanjutan.
Visi Terpadu Indonesia untuk Masa Depan yang Damai
Gabungan perspektif dari Jusuf Kalla, Nasaruddin Umar, dan Arsjad Rasjid di Roma menciptakan sebuah narasi yang kuat dan komprehensif tentang bagaimana perdamaian global dapat dicapai. Ini bukan sekadar kumpulan gagasan, melainkan sebuah visi terpadu yang menegaskan bahwa politik yang berani, spiritualitas yang otentik, dan ekonomi yang berkeadilan adalah tiga pilar yang tak terpisahkan dalam membangun dunia yang damai. Indonesia, melalui suara para tokohnya, menunjukkan bahwa keberagaman bukan penghalang, melainkan kekuatan untuk mencapai konsensus dan kolaborasi internasional.
Kehadiran dan kontribusi aktif Indonesia di forum internasional seperti Daring Peace 2025 di Roma merupakan bukti nyata komitmen bangsa ini untuk menjadi bagian dari solusi global. Melalui dialog, edukasi, dan pemberdayaan, Indonesia terus berupaya menginspirasi dan memimpin dalam menciptakan lingkungan di mana keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas menjadi nilai-nilai universal yang merangkul seluruh umat manusia. Langkah ini adalah bagian dari perjalanan panjang menuju tahun 2025 dan seterusnya, dengan harapan bahwa pesan perdamaian dari Indonesia akan terus menggema, membawa dampak positif yang nyata bagi stabilitas dan harmoni dunia.
Apple Technos Memberikan informasi terkini khususnya teknologi dan produk apple