...

El Fasher Berdarah: Otoritas Sudan Ungkap Kekejaman RSF, 2.227 Jiwa Melayang dan Darfur di Ambang Kiamat Kemanusiaan

Pada tanggal 26 Oktober, Kota El Fasher, benteng terakhir militer Sudan di wilayah Darfur Utara yang luas, jatuh sepenuhnya ke tangan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) setelah pengepungan dan pertempuran sengit. Peristiwa tragis ini telah memicu gelombang kekerasan dan penderitaan kemanusiaan yang mengerikan, dengan otoritas Sudan mengonfirmasi angka kematian yang mengejutkan: 2.227 jiwa melayang. Agad bin Kony, juru bicara Tentara Pembebasan Sudan yang pro-pemerintah, dalam keterangannya kepada RIA Novosti, menegaskan bahwa korban jiwa mencakup anak-anak, perempuan, dan lansia, menggarisbawahi skala kekejaman yang tak terbayangkan.

Jatuhnya Benteng Terakhir: Kronologi Kelam El Fasher

El Fasher telah menjadi titik fokus konflik sengit antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan RSF selama berbulan-bulan. Kota ini memiliki nilai strategis yang krusial sebagai satu-satunya ibu kota negara bagian di Darfur yang belum berada di bawah kendali penuh RSF. Kejatuhannya pada 26 Oktober menandai titik balik penting, memberikan RSF kendali atas sebagian besar wilayah Darfur. Laporan dari juru bicara Tentara Pembebasan Sudan, Agad bin Kony, menjadi salah satu sumber yang paling gamblang mengenai dampak langsung setelah penaklukan ini. Ia menyampaikan detail mengerikan tentang bagaimana warga sipil menjadi sasaran langsung kekerasan tanpa pandang bulu, menunjukkan pola serangan sistematis terhadap populasi yang tidak bersenjata.

Kesaksian Mengerikan: Pembantaian Warga Sipil dan Kejahatan Perang

Detail yang diberikan oleh Agad bin Kony melukiskan gambaran suram tentang kebrutalan RSF. Ia mengungkapkan bahwa video dan laporan saksi mata menunjukkan militan RSF menembaki warga sipil di berbagai lokasi yang seharusnya menjadi tempat perlindungan. Rumah sakit Saudi, pusat-pusat pengungsian, dan bahkan masjid-masjid—tempat-tempat di mana korban luka, pasien, atau warga sipil mencari perlindungan di tengah baku tembak—justru menjadi sasaran. “Semua orang telah melihat video yang memperlihatkan para militan menembaki orang-orang di rumah sakit Saudi, pusat pengungsian dan masjid-masjid,” kata Kony, menyoroti pelanggaran hukum humaniter internasional yang terang-terangan. Tindakan-tindakan ini, yang secara sengaja menargetkan fasilitas sipil dan individu rentan, menimbulkan kecaman keras dan memicu seruan untuk investigasi kejahatan perang.

Gelombang Pengungsian Massal: Darurat Kemanusiaan di Darfur

Dampak langsung dari kekerasan di El Fasher tidak hanya tercermin dari angka kematian yang tinggi, tetapi juga dari gelombang pengungsian massal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam empat hari setelah jatuhnya kota, lebih dari 393.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka, mencari keselamatan dari keganasan pertempuran. Angka ini menambah jutaan jiwa yang telah mengungsi di seluruh Sudan sejak konflik meletus. Para pengungsi ini menghadapi kondisi hidup yang ekstrem, kekurangan makanan, air bersih, tempat tinggal layak, dan akses terhadap layanan kesehatan. Krisis kemanusiaan di Darfur, yang telah berlangsung puluhan tahun, kini diperparah hingga titik kritis, dengan risiko kelaparan yang meluas dan wabah penyakit yang membayangi di kamp-kamp pengungsian yang padat.

Akar Konflik Sudan: Perang Tak Berujung

Konflik yang menghancurkan Sudan kini memasuki tahun ketiga. Berawal pada April 2023, perang saudara ini merupakan pertarungan kekuasaan antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di bawah komando Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti). Perselisihan mengenai integrasi RSF ke dalam militer reguler dan kontrol atas sumber daya negara memicu bentrokan bersenjata yang cepat meluas ke seluruh negeri. Sejak awal, konflik ini telah merenggut puluhan ribu nyawa, dengan angka pasti yang sulit diverifikasi karena kekacauan yang terjadi. Jutaan warga sipil terpaksa mengungsi, baik di dalam negeri maupun ke negara-negara tetangga, menciptakan krisis pengungsian terbesar di dunia. Seluruh wilayah Sudan, terutama Darfur, kini terancam oleh bencana kelaparan, diperparah oleh blokade bantuan kemanusiaan dan kehancuran infrastruktur pertanian.

Seruan Dunia yang Terabaikan dan Impunitas

Komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berbagai mediator regional, telah berulang kali menyerukan gencatan senjata segera dan akses kemanusiaan tanpa hambatan. Namun, seruan-seruan ini sebagian besar diabaikan oleh kedua belah pihak yang bertikai, yang terus melakukan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional. Kejahatan yang dilaporkan di El Fasher hanya menambah daftar panjang kekejaman yang dituduhkan kepada RSF, yang memiliki sejarah panjang terkait dengan milisi Janjaweed yang bertanggung jawab atas genosida di Darfur pada awal tahun 2000-an. Minimnya akuntabilitas dan impunitas terhadap pelaku kekerasan terus memicu siklus penderitaan yang tak berkesudahan.

Masa Depan yang Suram: Harapan di Tengah Kegelapan

Jatuhnya El Fasher dan pembantaian yang menyertainya adalah pengingat yang mengerikan akan biaya kemanusiaan dari konflik yang berlarut-larut ini. Tanpa intervensi internasional yang lebih kuat dan tekanan yang signifikan terhadap pihak-pihak yang bertikai untuk mematuhi hukum internasional, prospek perdamaian di Sudan tetap suram. Warga sipil Sudan, khususnya di Darfur, terus menanggung beban kekejaman, pengungsian, dan kelaparan. Dunia harus bertindak cepat untuk mencegah Darfur jatuh ke dalam kiamat kemanusiaan yang lebih dalam, menuntut keadilan bagi para korban, dan memastikan bantuan vital mencapai mereka yang paling membutuhkan.

About applegeekz

Check Also

Kawan Lama Group Tanam 25.000 Pohon: Wujudkan Bumi Lebih Hijau Hingga 2027

Deforestasi di Indonesia: Tantangan dan Harapan untuk Masa Depan Indonesia, dengan kekayaan hutan tropisnya, menghadapi …