...

Wamenekraf Irene Umar: Membangun Ekonomi Restoratif dari Akar Daerah, Kunci Kemandirian Indonesia

Jakarta – Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamenparekraf) Irene Umar kembali menekankan filosofi pembangunan yang berpusat pada daerah. Dalam pernyataannya, Irene menegaskan urgensi penguatan kapasitas di setiap wilayah untuk mewujudkan ekonomi yang restoratif dan berkelanjutan, menciptakan ekosistem yang mandiri atau self-sustaining. Visi ini adalah jawaban atas tantangan pembangunan yang kerap kali terpusat, mengabaikan potensi luar biasa yang tersebar di pelosok negeri.

Mengapa Pembangunan Harus Berawal dari Daerah?

Menurut Wamenparekraf Irene Umar, fondasi pembangunan yang kokoh adalah yang lahir dari akar rumput. “Sejak awal, Kementerian Ekonomi Kreatif percaya bahwa pembangunan harus berangkat dari daerah. Kalau bisa dimulai dari desa, hasilnya akan jauh lebih kuat. Indonesia terlalu luas untuk hanya terpusat di kota-kota besar,” ujarnya. Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan cerminan dari pemahaman mendalam tentang lanskap geografis dan demografis Indonesia. Negara kepulauan yang kaya ini memiliki keragaman budaya, sumber daya alam, dan potensi manusia yang tak terhingga, yang jika digarap secara optimal dari tingkat lokal, akan menjadi kekuatan pendorong ekonomi nasional yang tak tertandingi.

Filosofi ini mengajak setiap daerah, bahkan hingga ke tingkat desa, untuk menjadi agen perubahan dan penggerak ekonomi. Dengan demikian, pembangunan tidak lagi menjadi proyek sentralistik yang dipaksakan dari atas, melainkan tumbuh organik dari bawah, sesuai dengan kebutuhan dan kekhasan lokal. Pendekatan ini juga memastikan bahwa manfaat pembangunan dirasakan langsung oleh masyarakat di daerah, mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial antara kota dan desa.

Identifikasi Potensi Unggulan Lokal: Tiga Pilar Kemandirian

Untuk mencapai kemandirian yang utuh, Irene Umar mendorong setiap daerah untuk proaktif mengidentifikasi setidaknya tiga potensi unggulan yang menjadi ciri khas mereka. Tiga pilar ini mencakup potensi manusia (sumber daya manusia), budaya (kekayaan tradisi dan kearifan lokal), dan sumber daya alam (kekayaan lingkungan dan bahan baku). Pemetaan aset daerah ini sangat krusial agar arah pengembangan ekonomi kreatif di daerah menjadi lebih terarah, fokus, dan berdampak nyata.

Misalnya, daerah dengan warisan budaya tenun yang kuat dapat mengembangkan industri fesyen berbasis tenun lokal. Daerah dengan kekayaan rempah dapat mengoptimalkan sektor kuliner atau produk herbal. Sementara daerah dengan keindahan alam dapat mengembangkan ekowisata berkelanjutan. Ketika setiap daerah mampu mengenali, mengelola, dan mengembangkan potensinya secara optimal, mereka akan menjelma menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang digerakkan dari dalam, sejalan dengan program prioritas yang tertuang dalam Asta Cita Ekraf.

Kemandirian Pangan dan Sumber Daya: Dimulai dari Tingkat Terkecil

Konsep kemandirian yang digaungkan Wamenparekraf tidak hanya terbatas pada sektor ekonomi kreatif, tetapi juga merambah pada pengelolaan energi dan sumber daya alam, termasuk pangan. Irene menekankan bahwa kemandirian pangan tidak harus berskala nasional secara instan, melainkan harus dimulai dari unit terkecil dalam masyarakat. “Kemandirian pangan bukan berarti harus berskala nasional. Itu dimulai dari tingkat terkecil—dari rumah, desa, kota, hingga provinsi—baru akhirnya menjadi kekuatan nasional. Negara kita ini sangat kaya, tapi seringkali kita tidak menghargai kekayaan sendiri,” paparnya.

Pernyataan ini menyoroti pentingnya keberdayaan komunitas dalam memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri. Ketika setiap rumah tangga mampu mengelola kebutuhan pangan, setiap desa mampu menjadi lumbung pangan lokal, dan setiap daerah mampu menghasilkan energi dari sumber daya terbarukan, maka ketahanan nasional secara keseluruhan akan terbangun dengan kokoh. Ini adalah cerminan dari semangat penghargaan terhadap kekayaan lokal yang seringkali terabaikan.

Story-nomics: Kekuatan Narasi dalam Menembus Pasar Global

Selain fokus pada penguatan potensi lokal, Wamenparekraf Irene juga menegaskan pentingnya story-nomics atau ekonomi berbasis narasi. Konsep ini berarti setiap produk kreatif Indonesia harus dibekali dengan cerita yang kuat, autentik, dan memiliki nilai. Narasi yang baik tidak hanya meningkatkan nilai jual produk di pasar global, tetapi juga sebagai wujud penghargaan terhadap diri sendiri, lingkungan, dan warisan budaya yang melekat pada produk tersebut.

Produk yang memiliki cerita akan lebih mudah menarik perhatian konsumen internasional yang kini semakin mencari produk dengan nilai dan makna. Misalnya, sehelai kain tenun bukan sekadar kain, tetapi membawa kisah tentang tangan-tangan pengrajin, tradisi turun-temurun, simbol-simbol budaya, dan proses pembuatan yang ramah lingkungan. Dengan story-nomics, produk-produk Indonesia tidak hanya bersaing dalam kualitas, tetapi juga dalam kedalaman makna dan identitas.

Studi Kasus Nyata: Kampus Bambu Komodo dan Semangat Kolaborasi

Sebagai contoh nyata dari implementasi visi ini, Irene mengapresiasi kegiatan Kampus Bambu Komodo yang digagas oleh Yayasan Bambu Lingkungan Lestari (YBLL) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pada Selasa, 28 Oktober 2025. Kegiatan ini menjadi bukti konkret bagaimana potensi lokal dapat diangkat melalui kreativitas dan kolaborasi.

Dalam acara tersebut, Irene secara khusus menyoroti peran perempuan sebagai motor penggerak rumah tangga dan ekonomi komunitas. Perempuan seringkali menjadi garda terdepan dalam menjaga tradisi, mengelola sumber daya, dan menciptakan inovasi di tingkat lokal. Selain itu, inovasi sepeda bambu karya masyarakat lokal menjadi simbol kolaborasi dan kreativitas lintas sektor. Sepeda bambu tidak hanya fungsional tetapi juga ramah lingkungan dan memiliki cerita unik tentang kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Ini adalah contoh nyata bagaimana sebuah produk bisa menjadi jembatan antara konservasi lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan ekonomi kreatif.

Kolaborasi dan Keterlibatan Komunitas: Kunci Solusi Berbasis Akar Rumput

Mengakhiri pernyataannya, Wamenparekraf Irene Umar kembali menekankan esensi kolaborasi dan pentingnya mendengarkan langsung suara dari masyarakat. “Kegiatan ini bukan hanya tentang produk bambu, tetapi tentang kepercayaan dan kolaborasi. Kita perlu mendengar langsung dari masyarakat, karena tanpa memahami masalah di lapangan, solusi tidak akan lahir. Mari kita terbuka, berkolaborasi, dan bergerak bersama,” imbuhnya.

Keterlibatan aktif masyarakat adalah fondasi dari setiap pembangunan yang berkelanjutan. Solusi yang efektif lahir dari pemahaman mendalam terhadap kebutuhan, tantangan, dan aspirasi lokal. Semangat ini sejalan dengan Asta Cita Ekraf yang secara eksplisit mendorong penciptaan lapangan kerja berkualitas, penguatan ekonomi daerah, dan kemandirian yang berbasis pada potensi lokal. Dengan demikian, visi Wamenparekraf bukan hanya sekadar mimpi, melainkan peta jalan konkret menuju Indonesia yang lebih mandiri, berdaya, dan berkelanjutan, dibangun dari kekuatan dan kekayaan setiap jengkal daerahnya.

About applegeekz

Check Also

UNGA sahkan draf resolusi yang desak AS akhiri embargo Kuba

{ "title": "Suara Dunia Bergema: PBB Kembali Desak AS Akhiri Embargo Kuba yang Berusia Enam …