JAKARTA – Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) merilis analisis mengenai pergeseran valuasi di pasar informasi digital.Di tengah dominasi platform media sosial yang populer sebagai agregator konten, pemerintah menyoroti adanya biaya eksternalitas (external cost) yang tinggi berupa “krisis kepercayaan publik” akibat masifnya penyebaran berita bohong (hoaks) dan misinformasi.Untuk memitigasi risiko ini, Kemkomdigi mengusulkan sinergi strategis antara platform media sosial dan institusi pers (media mainstream). Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media (KPM) Kemkomdigi, Fifi Aleyda Yahya, dalam keterangan resminya, menegaskan bahwa metrik kecepatan tidak boleh mengorbankan akurasi, yang merupakan hak dasar publik. Dalam analisisnya, Fifi memetakan aset yang dimiliki kedua entitas:”Media sosial memberi kecepatan dan kedekatan, sedangkan media mainstream memberi kedalaman dan kredibilitas,” ujar Fifi. “Kalau dua kekuatan ini disatukan, kita bisa punya ekosistem informasi yang disukai sekaligus dipercaya.”Kritik: Pergeseran Aset dari ‘Klik’ ke ‘Kredibilitas’Secara gamblang, Kemkomdigi menyatakan bahwa lanskap kompetisi telah berubah.
Jika sebelumnya industri didorong oleh traffic dan engagement (volume klik), kini pasar disebut sedang melakukan koreksi, menempatkan ‘kepercayaan’ sebagai aset premium.”Masalahnya sekarang bukan siapa yang paling cepat menyebar, tapi siapa yang paling bisa dipercaya,” tutur Fifi. “Karena di era banjir informasi, yang paling berharga bukan klik, tapi kredibilitas.” Secara objektif, model bisnis inti platform media sosial saat ini masih sangat bergantung pada engagement yang didorong algoritma, yang seringkali justru mengamplifikasi konten sensasional fenomena yang diakui sendiri oleh Kemkomdigi. Fifi mengakui adanya “harga mahal” dari strategi monetisasi berbasis sensasi (clickbait) yang mendewakan volume.”Berita buruk memang cepat menyebar, tapi harga dari sensasi itu mahal. Rusaknya kepercayaan publik akibat hoaks dan misinformasi,” ucapnya. Regulasi vs Kebebasan: Ambiguitas PengawasanDi sisi regulasi, Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kemkomdigi, Alexander Sabar, mengindikasikan bahwa pemerintah akan mengambil posisi sebagai penyeimbang.”Pemerintah tidak ingin membungkam kebebasan. Kami menjaga keseimbangan antara ruang digital yang aman dengan hak-hak warga negara,” ungkap Alexander.
Pernyataan Dirjen Pengawasan ini merefleksikan tantangan klasik regulator di seluruh dunia. Kritiknya, istilah “menjaga keseimbangan” sangat ambigu secara operasional. Rilis ini tidak memberikan data, parameter, atau batasan yang jelas mengenai bagaimana “ruang digital yang aman” akan diimplementasikan tanpa berbenturan dengan “hak-hak warga negara” dan kebebasan berekspresi.Ambiguitas ini menciptakan ketidakpastian bagi pelaku industri platform digital dan media mainstream mengenai batasan intervensi pemerintah dalam ekosistem informasi.
Apple Technos Memberikan informasi terkini khususnya teknologi dan produk apple