Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu menjadi sorotan utama bagi para pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, pelaku bisnis, hingga masyarakat umum. Kabar terbaru datang dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), yang melalui Direktur Eksekutifnya, Esther Sri Astuti, memproyeksikan ekonomi Tanah Air akan tumbuh stabil mencapai 5 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) pada tahun 2026. Angka ini tentu membangkitkan optimisme, namun di balik proyeksi tersebut, INDEF juga menyampaikan sejumlah catatan penting dan peringatan strategis bagi pemerintah.
Melepaskan Diri dari Dominasi Konsumsi Rumah Tangga
Meskipun proyeksi 5 persen menunjukkan fundamental ekonomi domestik yang relatif stabil, Esther Sri Astuti menekankan pentingnya diversifikasi mesin pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, mengandalkan konsumsi rumah tangga sebagai pendorong utama pertumbuhan sudah terlalu lama menjadi tumpuan dan kini saatnya untuk mengaktifkan sektor-sektor lain yang lebih berkelanjutan. “Mengaktifkan mesin-mesin pertumbuhan ekonomi yang lain itu suatu hal yang fardhu ain (wajib) gitu ya. Jadi cukup sudah ya, konsumsi rumah tangga ini sudah terlalu lama ya mendominasi dan berkontribusi secara dominan terhadap pertumbuhan ekonomi (domestik),” ujar Esther. Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Ketergantungan berlebihan pada konsumsi rumah tangga dapat membuat ekonomi rentan terhadap fluktuasi daya beli dan kurang inovatif dalam menciptakan nilai tambah jangka panjang.
Mesin pertumbuhan lain yang dimaksud meliputi peningkatan investasi domestik dan asing, penguatan sektor manufaktur, pendorong ekspor produk bernilai tambah tinggi, serta pengembangan sektor-sektor baru yang inovatif seperti ekonomi digital dan pariwisata berkelanjutan. Diversifikasi ini diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak, meningkatkan pendapatan negara, dan memperkuat struktur ekonomi agar tidak mudah goyah oleh perubahan eksternal.
Tantangan Geopolitik Global dan Fragmentasi Perdagangan
Jalan menuju pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan tidak selalu mulus. Esther menilai, tantangan ekonomi ke depan masih cukup berat, mengingat perkembangan geopolitik global dan dinamika fragmentasi perdagangan internasional yang masih sulit diprediksi. Konflik geopolitik, seperti perang dagang antara kekuatan ekonomi besar atau ketegangan regional, dapat mengganggu rantai pasok global, menekan harga komoditas, dan menciptakan ketidakpastian investasi.
Fragmentasi perdagangan, yang ditandai dengan munculnya blok-blok ekonomi dan kebijakan proteksionisme, juga dapat menghambat aliran barang dan jasa antarnegara. Bagi Indonesia, yang merupakan bagian integral dari perekonomian global, dinamika ini menuntut kewaspadaan dan strategi adaptasi yang cepat. Pemerintah perlu memperkuat diplomasi ekonomi, mencari pasar-pasar alternatif, dan mempercepat diversifikasi produk ekspor untuk mengurangi ketergantungan pada beberapa pasar saja.
Tekanan Domestik: Harga Komoditas dan Daya Beli Masyarakat
Di tingkat domestik, pemulihan ekonomi Indonesia masih belum maksimal. Tekanan harga komoditas pangan dan energi menjadi salah satu faktor utama yang menghambat. Kenaikan harga-harga pokok dapat mengikis daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah, yang pada gilirannya akan menahan laju konsumsi rumah tangga. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai intervensi seperti subsidi dan bantuan sosial, efeknya seringkali bersifat sementara dan belum sepenuhnya memulihkan daya beli masyarakat ke tingkat pra-pandemi atau yang lebih kuat.
Selain itu, Indonesia juga menghadapi tantangan serius berupa ketergantungan tinggi terhadap impor. Ketergantungan ini mencakup berbagai sektor, mulai dari barang modal yang esensial untuk industri, hingga bahan pangan pokok yang vital bagi ketahanan pangan nasional. Akibatnya, devisa negara yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan domestik justru banyak mengalir ke luar negeri untuk membiayai impor. Fenomena ini tidak hanya melemahkan nilai tukar rupiah tetapi juga membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga global dan kebijakan negara-negara pengekspor.
Menjaga Daya Saing di Kawasan Asia Tenggara
Berbagai faktor tersebut, mulai dari tekanan global, ketergantungan impor, hingga belum pulihnya daya beli, membuat fundamental ekonomi Indonesia relatif lebih rentan dibandingkan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara. Hal ini pada akhirnya mengurangi daya saing Indonesia di mata investor global dan dalam persaingan ekonomi regional.
Esther Sri Astuti membandingkan kondisi Indonesia dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Menurutnya, meskipun negara-negara tersebut juga terdampak dinamika perekonomian global, “imunitas pertumbuhan ekonominya itu relatif kuat, jadi terdampaknya enggak parah-parah banget gitu.” Kekuatan imunitas ini seringkali berasal dari struktur ekonomi yang lebih terdiversifikasi, sektor manufaktur yang kuat, inovasi yang berkelanjutan, dan iklim investasi yang stabil. Untuk meningkatkan daya saing, Indonesia perlu fokus pada reformasi struktural, peningkatan kualitas sumber daya manusia, perbaikan infrastruktur, dan penyederhanaan regulasi yang mendukung investasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Rekomendasi untuk Pertumbuhan Berkelanjutan
Proyeksi pertumbuhan 5 persen pada 2026 adalah target yang ambisius namun realistis, asalkan pemerintah mengambil langkah-langkah strategis yang tepat. INDEF secara implisit merekomendasikan: pertama, mendorong investasi, baik domestik maupun asing, dengan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif dan menarik. Kedua, memperkuat sektor manufaktur dan industri hilir untuk meningkatkan nilai tambah produk ekspor dan mengurangi ketergantungan impor. Ketiga, mengembangkan sektor ekonomi baru seperti ekonomi hijau dan digital. Keempat, memperkuat ketahanan pangan dan energi domestik untuk mengurangi dampak fluktuasi harga global. Terakhir, terus melakukan reformasi birokrasi dan regulasi untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing. Dengan upaya-upaya komprehensif ini, Indonesia dapat tidak hanya mencapai target pertumbuhan 5 persen, tetapi juga membangun fondasi ekonomi yang lebih kuat, inklusif, dan berkelanjutan untuk masa depan.
Apple Technos Berita Apple Terbaru, Rumor & Update Resmi