bangun rumah rp176 triliun selama 8 tahun zuckerberg bagikan headphone dan donat ke tetangga yang protes index
bangun rumah rp176 triliun selama 8 tahun zuckerberg bagikan headphone dan donat ke tetangga yang protes index

Bangun Rumah Rp1,76 Triliun Selama 8 Tahun, Zuckerberg Bagikan Headphone dan Donat ke Tetangga yang Protes

Ketenangan adalah sebuah kemewahan, terutama di kawasan elit seperti Crescent Park, Palo Alto, California. Lingkungan yang lazimnya dihuni oleh para pengacara sukses, eksekutif bisnis, dan profesor Universitas Stanford ini, dulunya dikenal akan suasana damai dan privasinya. Namun, selama bertahun-tahun terakhir, kemewahan ketenangan itu telah direnggut paksa, digantikan oleh deru bising mesin konstruksi yang tak kunjung reda. Sumber kekacauan ini? Ambisi properti raksasa milik Mark Zuckerberg, pendiri Meta, yang telah memicu gelombang protes dari tetangganya.

Sebagai respons atas gangguan pendengaran dan kenyamanan yang terampas, staf sang miliarder dilaporkan menawarkan ‘kompensasi’ yang terasa ironis: sepasang headphone peredam bising (noise-canceling headphones) lengkap dengan botol sparkling wine dan kotak-kotak donat Krispy Kreme. Sebuah ‘upeti’ perdamaian yang justru semakin menyoroti jurang pemisah antara kekayaan ekstrem dan ekspektasi komunitas. Laporan mendalam dari The New York Times membongkar lapisan ketegangan sosial yang tersembunyi di balik pagar-pagar tinggi properti salah satu orang terkaya di dunia ini.

Ambisi Properti Skala Raksasa: Transformasi Menjadi Komponen Pribadi

Proyek properti Mark Zuckerberg bukanlah sekadar renovasi kecil-kecilan. Ini adalah metamorfosis total lanskap sebuah lingkungan. Selama lebih dari 14 tahun terakhir, Zuckerberg telah menghabiskan lebih dari USD 110 juta, atau sekitar Rp1,76 triliun, untuk mengakuisisi setidaknya 11 rumah di sepanjang Edgewood Drive dan Hamilton Avenue di Palo Alto. Angka fantastis ini mencerminkan investasi besar-besaran yang bertujuan untuk menciptakan sebuah klaster pribadi, sebuah ‘compound’ raksasa, alih-alih sekadar hunian yang menyatu dengan komunitas sekitar. Intensi ini, pada gilirannya, menjadi pemicu utama frustrasi kolektif warga.

Kawasan yang dulunya terdiri dari beberapa rumah terpisah kini tengah dirombak menjadi sebuah kompleks yang terintegrasi. Di dalamnya direncanakan akan terdapat hunian tamu, taman-taman rimbun yang dirancang secara profesional, lapangan pickleball untuk rekreasi, hingga kolam renang canggih dengan teknologi hidrolik lantai (hydrofloor). Namun, fitur yang paling mencengangkan dan menimbulkan banyak perdebatan adalah penambahan ruang bawah tanah seluas 7.000 kaki persegi (sekitar 650 meter persegi). Bagi warga sekitar, struktur masif di bawah tanah Palo Alto ini lebih menyerupai sebuah ‘bunker’ atau ‘Bat Cave’ milik miliarder, alih-alih ruang utilitas biasa. Bahkan, luasnya melampaui struktur bawah tanah seluas 5.000 kaki persegi (sekitar 464 meter persegi) yang ia bangun di perkebunan seluas 2.300 hektar miliknya di Kauai, Hawaii, yang juga sempat memicu kontroversi lokal karena pembangunannya yang agresif dan isu privasi.

Delapan Tahun di Bawah Deru Mesin: Penderitaan Warga Sekitar

Ketidakpuasan warga tidak hanya dipicu oleh skala proyek, melainkan juga oleh durasi pengerjaan yang seolah tanpa akhir. Selama hampir delapan tahun, tetangga dipaksa hidup berdampingan dengan blokade jalan yang mengganggu akses, puing-puing debu yang mencemari udara, dan kebisingan konstruksi yang tiada henti. Bayangkan delapan tahun tanpa ketenangan, tanpa kemampuan untuk menikmati halaman belakang atau bahkan sekadar tidur siang tanpa terganggu. Ini adalah periode yang sangat panjang, menguji kesabaran dan kesejahteraan mental penghuni sekitar.

Dalam upaya meredam gejolak sosial ini, staf Zuckerberg tidak hanya membagikan headphone peredam bising, tetapi juga mengirimkan botol-botol sparkling wine dan kotak-kotak donat Krispy Kreme saat periode konstruksi sedang berada di puncak kebisingannya. Gestur yang, bagi sebagian besar warga, terasa seperti penghinaan. Hadiah tersebut dinilai tidak efektif untuk menutupi transformasi negatif lingkungan mereka; justru memperkuat kesan bahwa sang miliarder seolah ingin ‘membeli’ ketenangan mereka dengan cara yang kurang tepat. Warga mengeluhkan ketidakhadiran pemilik (absentee ownership) yang jarang terlihat, barikade privasi yang kaku dan mengasingkan, serta kehadiran keamanan yang berlebihan, termasuk kamera pengawas yang dilaporkan mengarah ke properti tetangga dan patroli rutin penjaga keamanan swasta yang menciptakan suasana tidak nyaman dan paranoid.

Lebih dari Sekadar Kebisingan: Isu Etika, Privasi, dan Konflik Komunitas

Konflik ini melampaui sekadar gangguan suara. Kritik tajam juga mengarah pada aspek etika pemanfaatan lahan oleh Zuckerberg. Di tengah krisis perumahan akut yang melanda California, dengan harga properti yang terus melambung tinggi dan banyak keluarga kesulitan menemukan tempat tinggal yang layak, beberapa properti yang dibeli Zuckerberg justru dibiarkan kosong tak berpenghuni. Praktik ini dinilai kontroversial dan tidak sensitif terhadap kondisi sosial yang ada, seolah-olah sumber daya yang vital hanya digunakan untuk memperluas ruang pribadi seorang miliarder.

Selain itu, sempat ada upaya pemanfaatan salah satu properti untuk sekolah privat bagi anak-anak Zuckerberg dan segelintir lainnya. Penggunaan semacam ini tampaknya menabrak peraturan zonasi setempat, yang semakin menunjukkan potensi pelanggaran tata kota dan kurangnya penghargaan terhadap aturan komunitas yang berlaku. Konflik ini tidak hanya tentang kebisingan, tetapi juga tentang hak warga, pemanfaatan lahan yang bertanggung jawab, dan bagaimana kekayaan ekstrem dapat membentuk (atau merusak) sebuah komunitas.

Pembelaan dan Rekam Jejak Kontroversial: Celah Hukum dan Ketegangan Masa Lalu

Menanggapi kritik ini, juru bicara Mark Zuckerberg membela diri dengan menyatakan kepada Fortune bahwa keluarga tersebut telah menjadikan Palo Alto rumah mereka selama lebih dari satu dekade dan sangat menghargai keanggotaan mereka dalam komunitas. Mereka juga mengklaim telah mengambil langkah-langkah “di atas dan melampaui persyaratan lokal” untuk menghindari gangguan. Namun, rekam jejak menunjukkan pola yang berbeda dan seringkali kontroversial.

Pada tahun 2016, pejabat Palo Alto pernah menolak proposal Zuckerberg untuk merobohkan empat rumah dan menggantinya dengan struktur yang lebih kecil demi pembangunan basemen raksasa yang lebih luas. Meski ditolak, Zuckerberg tampaknya menyiasatinya dengan melakukan renovasi secara bertahap untuk masing-masing properti yang telah diakuisisinya. Strategi ini, yang oleh Dewan Kota Palo Alto dan warga dinilai sebagai eksploitasi celah zonasi, memungkinkan pembangunan compound tersebut tanpa persetujuan menyeluruh yang awalnya ditolak. Ini menunjukkan keteguhan Zuckerberg dalam mewujudkan visinya, bahkan jika itu berarti beroperasi di batas atau melewati semangat hukum yang ada, dan meninggalkan jejak konflik yang tak terhindarkan dengan komunitas yang seharusnya menjadi bagian darinya.

Sebuah Refleksi tentang Kekuasaan dan Komunitas

Saga properti Mark Zuckerberg di Palo Alto adalah mikrokosmos dari konflik yang lebih besar antara kekuatan kekayaan ekstrem dan hak-hak komunitas lokal. Ini bukan hanya cerita tentang kebisingan konstruksi atau hadiah donat yang ironis, tetapi tentang bagaimana ambisi pribadi seorang miliarder dapat mengubah wajah sebuah lingkungan, menguji kesabaran warga, dan memicu pertanyaan etis tentang pemanfaatan lahan dan tanggung jawab sosial. Di tengah gemerlap inovasi Silicon Valley, kisah ini mengingatkan kita bahwa bahkan di balik layar kemajuan teknologi, manusia dan harmoni komunitas tetap menjadi elemen fundamental yang tak boleh diabaikan.

About applegeekz

Check Also

kemkomdigi siapkan internet untuk fasilitas medis di aceh tamiang index

Kemkomdigi Siapkan Internet Untuk Fasilitas Medis di Aceh Tamiang

Menjaga Denyut Nadi Kesehatan di Tengah Bencana Bencana alam seringkali meninggalkan jejak kehancuran yang mendalam, …